504 - Tinggal di Pedalaman Gunung atau Menetap di Pusat Kota (2)
Kita lanjutkan pembahasan mengenai: Tinggal di pedalaman gunung atau menetap di pusat kota.
Kita sering mengatakan, Anda adalah seorang yogi, ada yogi yang menekuni olah prana, namun dari manakah prana tersebut? Dari alam ini, dari jagat raya.
Latihlah prana tubuh Anda hingga kukuh seperti gunung, dengan demikian Anda akan memperoleh kemantapan dan keheningan. Tidak tergoyahkan bagai gunung, namun ketika bergerak, ia adalah api.
Saya sering mengatakan, “Tempat yang dapat dilompati oleh singa, kelinci tidak akan sanggup untuk melompatinya.” Sebab singa memiliki prana tak gentar, sanggup melangkahkan kaki di mana pun. Sedangkan kelinci, tidak semua tempat dapat dia lalui, tempat yang dapat dilompati oleh singa, kelinci tidak akan sanggup melompatinya, jika kelinci memaksakan diri untuk melompatinya, dia pasti akan terjatuh dan mati, karena singa dan kelinci memiliki prana yang berbeda.
Ada sebuah teka-teki, mengapa kelinci mengikuti Chang’e? Mereka menjawab: “Sebab kaki Chang’e seperti lobak.”, jawaban ini sungguh unik, namanya juga teka-teki.
Sesungguhnya, ini merupakan perbedaan prana. Bhavana, seperti sebuah pepatah, burung yang terbang di angkasa tidak akan jatuh. “Ikan di dalam air, tidak takut mati tenggelam. Singa di gunung salju, tidak gentar akan hawa dingin.”
Inilah yang kita tekuni di pedalaman gunung, Anda mesti melatihnya dengan baik, barulah Anda boleh turun gunung. Setelah Anda mencapai keberhasilan, kemudian turun gunung, Anda adalah singa yang perkasa. Anda sanggup menghadapi dunia saha, masuk ke dalam kota yang ramai, untuk melaksanakan misi Bodhi. Karena Anda telah mencapai keberhasilan bhavana, Anda telah melampauinya.
Ketika Anda tiba di kota yang ramai, berbagai macam hal ada di sana, penuh warna-warni , bagaikan sebuah guci pewarna raksasa. Namun Anda mesti mempertahankan kemampuan Anda, tak tergoyahkan bagai gunung, dengan demikian Anda sanggup melampauinya.
Mahaguru sendiri, boleh saja memasuki pedalaman gunung. Sebab saya memiliki ketenangan dan kemantapan. Saya juga boleh menetap di pusat kota, sebab di dalam kota, saya masih tetap tak tergoyahkan bagai gunung.
Persoalan ada pada batin Anda, benarkah tak tergoyahkan bagai gunung? Begitu batin Anda goyah, pertahanan Anda telah runtuh, Anda akan sangat mudah teperdaya.
Beberapa bhiksu mengatakan: “Aku ingin pergi ke bar untuk menuntun insan, juga pergi ke pub untuk menuntun insan, aku akan membimbing para pemabuk.” Dia mengatakan hendak membimbing para pemabuk, namun akhirnya justru dia sendiri yang menjadi pemabuk. Ternyata dia justru keluar dari pub dalam kondisi mabuk. Jika Anda tidak memiliki pengendalian diri, bagaimana mungkin Anda bisa membimbing seorang pemabuk? Ada bhiksu yang berkata: “Aku akan pergi membimbing para hidung belang.” Akhirnya justru dia sendiri yang menjadi hidung belang. Ibarat sebuah gunung, kemudian terjadi gempa bumi, dan gunung itu pun runtuh.
Sadhaka yang tak tergoyahkan bagai gunung, boleh tinggal di gunung, boleh juga tinggal di pusat kota. Ini merupakan sebuah filosofi diam dan gerak dalam kehidupan. Dalam gerak, Anda tetap sanggup untuk tenang. Di dalam gunung, Anda juga bisa bergerak.
Mengapa di dalam gunung bisa bergerak? Lihatlah air, permukaan air danau sangat tenang, namun air terjun adalah bergerak. Di tengah bhavana, dalam batin Anda terdapat air terjun, menghasilkan kekuatan, namun begitu Anda mengamati air, maka air terjun tersebut akan menjadi danau yang tenang.
Oleh karena itu, ketika Anda mengamati air, mengamati danau, kemudian mengamati air terjun, di antara gerak dan diam, batin Anda sedang bergolak. Ketika Anda mulai beraksi, itulah air terjun. Ketika Anda berdiam, Anda menjadi danau yang tenang. Ketika Anda menuntun insan di dunia saha, Anda mengerahkan kekuatan yang sangat besar. Ketika Anda diterpa godaan, Anda tak tergoyahkan bagai gunung, ini semua diperoleh melalui bhavana.
Oleh karena itu, tidak peduli bagaimana pun, bagaikan melukis, bisa melukis keheningan, bisa pula melukis pergerakan. Bagaikan bela diri, sangat tenang ketika diam, dan bagaikan api dan halilintar ketika bergerak.
Namun Anda harus sanggup mengendalikan diri dalam segala situasi, seorang sadhaka, dalam diam maupun pergerakan, senantiasa sanggup memusatkan pikiran, memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri sepenuhnya, ketika Anda telah menguasainya, tinggal di gunung maupun di kota sama saja.
Namun jangan sampai sebelum menguasainya, Anda langsung terjun. Ketahuilah itu artinya berwelas asih, ingin mengorbankan diri untuk memberi makan harimau. Dahulu, Acarya Lianbao mengatakan hendak mengorbankan diri untuk memberi makan harimau, dia mengatakan menekuni Buddhisme mesti mengorbankan diri untuk memberi makan harimau, inilah maitrikaruna. Dalam berdana, kita mesti mengamati ada atau tidaknya nilai bagi kehidupan, ketika Anda telah mencapai keberhasilan bhavana, dalam hal mengorbankan diri, sesungguhnya juga bukan mengorbankan diri, namun Anda telah melampaui, ini ada dalam ajaran Tantra. Segalanya adalah murni, baik adanya. Ketika bhavana Anda mencapai tingkatan ini, berarti Anda telah berhasil melampaui.
Sang Buddha sanggup mengerat daging tubuh-Nya untuk memberi makan elang, mengorbankan tubuh untuk memberi makan harimau, semua bermakna kemampuan untuk melampaui.
Om Mani Padme Hum.