546 - Tiga Cela Bejana Dharma (2)
Kita lanjutkan pengulasan tiga cela bejana Dharma.
Selain yang pertama, bejana yang tertutup, masih ada yang kedua, yaitu yang kotor, bagian dalam bejana ini kotor.
Gunakan sebuah perumpamaan, menuangkan Susu Dharma dari kalasa abhiseka ke dalam sebuah mangkuk. Susu Dharma ini berwarna putih, begitu dituangkan, berubah menjadi hitam. Sebab bejana tersebut tidak bersih, bejana itu kotor, di sinilah permasalahannya, yang semacam ini juga tidak bisa menerima Susu Dharma. Sekalipun menerima abhiseka, tetap saja tidak bermanfaat.
Dalam menerima abhiseka, kita mesti percaya seratus persen terhadap abhiseka Guru, selain itu, bersihkan hati diri sendiri untuk menerima Susu Dharma, ini sangat penting.
Adakalanya ketika menerima abhiseka, Anda berpikir: “Abhiseka dari Mahaguru, paling-paling hanya menggoyang ghanta dan memberi air untuk Anda minum, apakah air ini benar-benar berkhasiat?” Apabila Anda berpikir demikian, maka ia tidak akan berkhasiat.
“Hanya menggoyang ghanta, di rumahku ada banyak ghanta, saya bisa menggoyangkannya sendiri, mendengar suara ghanta, apakah seperti ini bisa berkhasiat?” Pemikiran seperti ini tidak akan bisa membersihkan hati Anda.
Apalagi ketika Anda melihat Mahaguru Lu, “Orang ini tidak jauh berbeda dengan saya, lebih pendek dari saya. Semua tidak jauh berbeda, apa kemampuan dia? Apa kekuatan dia?” Muncul pemikiran semacam ini, berarti hati sudah tidak bersih, dan tidak akan bisa menerima abhiseka tersebut.
Saya pernah menceritakan sebuah lelucon, ketika Mahaguru Berdharmadesana, namun untung hal ini belum pernah terjadi. Mendadak terdengar suara buang angin, kadang bisa saja terjadi, namun belum pernah terjadi. Celaka, para umat mendengarnya, mereka berpikir: “Sama seperti kita! Sama seperti semua orang! Dia juga buang angin, kondisi pencernaan kurang baik.” Keyakinannya luntur, “Aku khawatir Guru ini tidak memiliki keberhasilan bhavana, sama seperti kita semua.” Hal semacam ini bisa saja terjadi.
Namun untunglah kondisi tubuh saya lumayan, memang ada guru yang berpenyakitan, batuknya sangat parah, tiap bicara beberapa patah kata, ia akan terbatuk beberapa kali. Ada guru yang menderita asam urat tinggi, kakinya bengkak, dan tidak dapat berjalan. Saya pernah lihat, dua orang Guru di Taiwan, semua adalah seorang Rinpoche agung, yang satu kakinya bengkak, dan yang satunya menderita batuk yang parah. Kita tidak perlu ungkapkan siapa dia, keduanya tokoh besar. Yang satu asam urat tinggi, kakinya bengkak, dan tidak bisa berjalan. “Kenapa demikian? Anda adalah seorang Rinpoche agung, seorang Acarya agung, yang tertinggi, tapi berpenyakitan? Tidak jauh beda dengan kita semua!” Apabila Anda berpikiran demikian, maka Anda tidak bisa menerima Susu Dharma.
Bahkan Shakyamuni Buddha pun juga menderita sakit, yang banyak diketahui adalah migrain. Beliau menderita osteofit, migrain, dan kondisi pencernaan yang tidak baik.
Pada satu kesempatan, ketika Anda melihat Mahaguru mengalami flu, pilek dan batuk, “Buddha apa dia? Padmaprabhasvara? Kondisi seperti saat ini, leluasa bagaimana? Abhiseka kita sia-sia belaka!” Bisa saja muncul pemikiran seperti ini.
“Lihat, ia terkilir saat bermain bola basket, patah tulang kaki, ke mana perginya Dharmapala dia?” Muncul beberapa keraguan. Begitu Anda punya keraguan semacam ini, hati pun kotor, tidak bisa mengosongkan diri.
Saya ceritakan sebuah lelucon, saya tidak boleh mengatakan: “Hari ini sungguh dingin.” Sebab, siswa itu akan ragu: “Mahaguru punya kundalini, tapi dia mengatakan dingin, berarti kundalininya palsu.” Saya sembarang mengucapkan: “Jam berapa sekarang?” Mereka langsung berpikir: “Mahaguru punya Dharmapala, seharusnya Dharmapala bisa memberitahu dia, kenapa harus bertanya kepada kami? Dharmapalanya palsu!” Demikianlah kekotoran hati.
Jadi Mahaguru mesti berhati-hati dalam berbicara. Saat hawanya sangat dingin, saya mesti mengatakan: “Hari ini panas sekali.” Jelas-jelas dingin, Anda ingin mengatakan panas? Juga tidak boleh sembarang bertanya jam berapa, karena seharusnya Dharmapala bisa memberitahu Anda.
Oleh karena itu ini juga sebuah persoalan, sebagai seorang Mahasiddha, banyak siswa yang melihat Anda, mereka sering mengamati Anda. “Mahaguru sangat boros, ia membeli sebuah benda yang sangat mahal. Dia adalah Guru yang terlalu boros, tidak usah diindahkan, kita pergi saja!” Ini karena hati diri sendiri yang kotor.
Ketika Anda benar-benar meyakini Guru tersebut, ini akan menghasilkan pahala dan manfaat. Namun apabila Anda gemar mencari-cari kesalahan Guru sendiri, celaka sudah!
Untuk apa Anda bersarana? Saya datang untuk menjadi ‘spy’ (mata-mata), saya datang untuk mengamati dia, mencari kekurangan-kekurangan dia. Ketahuilah, dalam Abdi Guru Pancasika ada tertulis, “Jangan mencari kekurangan Guru.”, jangan terus mencari-cari kekurangan Guru Anda. Lihatlah kelebihan Guru Anda, tidak perlu mencari kekurangan dan kesalahan beliau. Ketika Anda mencari-cari kesalahan beliau, hal ini justru akan menjadi kesalahan Anda sendiri. Ketika Anda mencari kelebihan beliau, maka Anda akan menghasilkan pahala, ini sangat penting. Oleh karena itulah saya selalu menghormati Mulacarya saya. Saya juga tidak ingin melihat kekurangan dalam perilaku Beliau. Jangan mencari kekurangan Guru, lihatlah sisi baik Guru Anda. Dengan demikian Anda akan menghasilkan hati yang bersih, dan hati yang bersih adalah Dharmasukha.
Demikianlah sikap hati yang mesti dimiliki oleh orang yang belajar Buddhisme. Apabila Anda mencari cela Guru, mencari kesalahan Guru, maka tidak akan ada pahala apa pun, tidak akan bermanfaat, bagi Anda sendiri, lebih baik Anda tidak usah bersarana kepada Guru tersebut.
Yang ketiga adalah bejana yang rusak. Bejana Dharma ini rusak, ketika Susu Dharma dituangkan, ia akan mengalir keluar. Bagaimana ini? Anda mesti bersadhana, supaya bisa memperoleh manfaat yang sesungguhnya. Jangan sampai bejana ini retak, yang pertama, Anda mesti meyakini Guru Anda sendiri. Yang kedua, kosongkan diri sendiri, hati harus bersih. Yang ketiga, Anda mesti bersadhana dengan sebaik-baiknya, menambal kekurangan diri sendiri, jangan sampai menjadi bejana rusak, jangan biarkan tiga cela bejana ini muncul.
Om Mani Padme Hum.