560 - Hinayana dan Mahayana (2)
Kita mengulas Hinayana dan Mahayana.
Sebelumnya telah dibahas bahwa antara Hinayana atau Mahayana, semua merupakan faktor jodoh, dahulu pada masa Sang Buddha di dunia, Beliau membabarkan Hinayana. Agama Buddha mula-mula berawal dari pembabaran Hinayana, kemudian adalah Mahayana, dan terakhir adalah Tantrayana.
Duhkha, samudaya, nirodha, dan marga, empat kata ini merupakan Catvari-arya-satyani (4 Kebenaran Mulia), pusat dari Hinayana. Menekuni ‘tiada aku’, ‘tiada dia’, memotong klesha, mencapai tingkat Arahat, tidak lagi bertumimbal lahir. Bhavana yang demikian juga patut dimuliakan, dan bukan sesuatu yang tidak baik, hanya saja ini tergolong pembebasan bagi diri sendiri.
Mahayana adalah pembangkitan Bodhicitta, membangkitkan ikrar agung, sama seperti Ksitigarbha Bodhisattva yang tidak akan menjadi Buddha sebelum neraka kosong. Sebelum neraka kosong, Beliau tidak akan menjadi Buddha, selamanya merupakan seorang Bodhisattva, Ksitigarbha Bodhisattva.
Sekarang tiba-tiba Ksitigarbha Bodhisattva berganti nama menjadi Ksitigarbha Buddha. “Tidak benar! Saya masih ada! Bagaimana bisa disebut Ksitigarbha Buddha?” Selama Anda masih ada, Anda masih hidup, Beliau adalah Ksitigarbha Bodhisattva. Kecuali Anda juga telah menjadi Buddha, maka barulah Beliau disebut Ksitigarbha Buddha. Akan tetapi, meskipun Anda telah mencapai Kebuddhaan, Beliau masih tetap Ksitigarbha Bodhisattva.
Inilah Bodhicitta yang merupakan semangat Mahayana, mengutamakan aktivitas menyeberangkan para insan. Menggunakan pencerahan diri untuk menuntun para insan supaya tercerahkan dan mencapai Kebuddhaan, Bodhisattva adalah insan yang telah tercerahkan.
Mahaguru sendiri telah membangkitkan ikrar Mahayana, yaitu menuntun para insan dalam setiap kelahiran. Penganut Hinayana tidak menyukai tumimbal lahir, tidak ingin terlahir kembali. Tumimbal lahir penuh penderitaan, terlahir kembali juga sangat sengsara, berbaur dengan para insan beresiko tercemar.
Sebuah contoh yang sangat sederhana, Sabtu kemarin saya memberi layanan konsultasi, Acarya Lian-ning masuk dan memberitahu saya: “Orang di belakang sana sangat bau, sungguh, baunya benar-benar tidak enak.” Saya diminta untuk berhati-hati. Begitu orang itu masuk, saya langsung tahan napas, namun apa boleh buat, harus menghirup napas, oh! Bola mata saya berputar, sebenarnya bau seperti apa? Bau yang dihasilkan oleh tubuhnya sampai memenuhi ruang konsultasi, demikianlah pencemaran para insan. Jadi apabila Anda mengatakan hendak menuntun para insan, sebenarnya Anda ini menuntun para insan, atau justru Anda yang disesatkan oleh para insan?
Mahayana mesti belajar pada Hinayana, terlebih dahulu Anda mesti berhasil menyeberangkan diri sendiri, dengan demikian Anda sudah punya fondasi. Anda boleh saja membangkitkan Bodhicitta, sebab sebelum mencapai keberhasilan, Anda juga boleh membangkitkan Bodhicitta. Singkat kata, seberapa besar Bodhicitta Anda, seberapa besar ikrar Anda, seberapa besar pelaksanaannya, maka sebesar itulah keberhasilan yang dapat Anda raih.
Oleh karena itulah tidak boleh mengkritik Hinayana, apabila Anda praktisi Hinayana telah mencapai keberhasilan, kemudian membangkitkan Bodhicitta dan menekuni Mahayana, boleh saja. Akan tetapi, langsung masuk pada penekunan Mahayana juga boleh. Namun Anda mesti ingat, para insan bisa mencemari, dan para insan tidak akan habis untuk diseberangkan.
Ada orang yang mengatakan: “Ksitigarbha Bodhisattva ingin mengosongkan neraka, suatu hari nanti pasti bisa kosong.” Kapan? Satu jawaban: Apabila pasir bisa diperas menghasilkan minyak, berarti para insan telah habis diseberangkan. Rauplah pasir di pantai, kemudian peraslah, apakah bisa menghasilkan minyak?
Para insan diluar jangkauan pikiran kita! Ingin mengosongkan neraka? Suatu hari nanti, ketika pasir bisa diperas menghasilkan minyak, maka neraka akan kosong. Oleh karena itu, orang yang membangkitkan Bodhicitta Mahayana tidak memedulikan masa mendatang, ia suka tumimbal lahir, ia suka terlahir kembali, ingin menuntun para insan dalam setiap kehidupan, rela untuk berbaur dengan para insan, dengan senang hati menghadapi penderitaan, sesunggunya duhkha adalah sukha.
Aksara mandarin sungguh baik, kata ‘sakit’ dipadukan dengan kata ‘senang’ berarti ‘bahagia’, setelah ‘sakit’ baru bisa ‘berbahagia’, setelah penderitaan baru kemudian muncul kebahagiaan. Di sinilah letak semangat Bodhisattva Mahayana, segala sesuatunya dijalani dengan rela. Menderita pun rela, bertumimbal lahir pun rela, di sinilah letak keagungan Bodhicitta.
Berikrar untuk menuntun insan dalam setiap kelahiran, jelas-jelas mengetahui bahwa para insan sangat sukar untuk dituntun, namun ia masih tetap ingin menuntun para insan, sanggup menjalani suatu yang sukar, inilah Bodhisattva.
Oleh karena itu, menurut saya, antara Hinayana dengan Mahayana, ada nidana masing-masing. Tidak bisa menyalahkan Hinayana atau Mahayana. Sebab Mahayana memiliki tekad, ikrar, Bodhicitta yang agung. Sedangkan Hinayana, tumpuannya, realisasi ‘tiada aku’ dan ‘tiada dia’, mentransformasikan diri sendiri menjadi Arahat yang suci, ini sungguh sangat agung dan mulia. Semua sama-sama agung dan mulia, sepenuhnya merupakan faktor jodoh. Sebab di antara para insan, menurut pengamatan Mahaguru, ada yang memiliki jodoh luas dengan para insan, maka dia cocok untuk menekuni Mahayana, sangat baik, bisa menyeberangkan para insan, menekuni Sad-paramita.
Orang ini penyendiri, merasa bahwa bahkan menyeberangkan diri sendiri pun sangat sukar, maka dia cocok untuk menekuni Hinayana. Melatih ‘anatman’ dan memotong klesha. Kemudian merealisasi ‘tiada dia’ dan memasuki sunyata. Anda memintanya untuk menyeberangkan para insan, sekalipun Anda memukulnya, ia tidak akan beranjak. Sekalipun Anda menendangnya, jujur saja, dia tidak akan bergeming.
Jadi ini semua merupakan faktor jodoh, dan para insan memiliki sifat pembawaan masing-masing. Kadang demi diri sendiri, dan kadang demi para insan. Oleh karena itu, deskripsi saya mengenai Hinayana dan Mahayana berbeda dengan orang lain, menurut saya tidak boleh saling kecam, semestinya saling dukung. Sebab semua sama-sama merupakan ajaran Sang Buddha, semua sama-sama merupakan Buddhadharma yang dibabarkan oleh Shakyamuni Buddha, yang bisa ditekuni berdasarkan jodoh masing-masing. Hinayana baik adanya, Mahayana juga baik adanya.
Mahaguru sendiri bertekad untuk menuntun para insan dalam setiap kelahiran, tak gentar akan penderitaan, tak gentar akan kesukaran. Ketika mengalami penderitaan atau kesukaran, justru akan lebih tekun dan bersemangat. Menikmati penderitaan tersebut, sebab derita juga nikmat, sama seperti kita minum teh pahit, oh! sungguh pahit! Harus diminum, sebab pasti ada saatnya akan berasa sedikit manis! Demikianlah Bodhicitta.
Om Mani Padme Hum.