584 - Memandang Guru Laksana Buddha (1)
Kita mengulas perihal ‘Memandang Guru Laksana Buddha’.
Dalam Tantra, Guru sendiri mesti dipandang sama seperti Buddha. Oleh karena itu, tiap kali Mahaguru menulis surat kepada Guru sendiri, selalu menyebut-Nya: “Guru Buddha.”, memandang-Nya sama seperti Buddha. Guru diri sendiri mesti dianggap sama seperti Buddha dan Bodhisattva.
Dalam ‘Sutra Abhiseka Vajrapani’ disebutkan, “Bagaimana seharusnya para siswa Vajrayana memandang Sang Guru? Vajrapani menjawab, memandangnya laksana Buddha Bhagavan.” Bhagavan adalah Buddha, mesti dipandang sebagai Buddha.
Di Tibet ada sebuah kisah mengenai Lobsang Jigme. Ia bersarana kepada Gurunya sendiri, Lobsang Jigme memiliki paras yang sangat baik, sehingga Sang Guru memujinya. Akan tetapi, siswa yang lain merasa tidak senang, mereka mengatakan, Guru memuji parasnya yang sangat baik, mungkin Guru akan mentransmisikan silsilah kepada Lobsang Jigme. Oleh karena itu, saudara Sedharma memikirkan cara untuk mencelakainya.
Suatu ketika, di tepi jurang, saudara Sedharma memberitahu Lobsang Jigme: “Guru kita paling banyak melimpahkan daya adhisthana kepadamu, beranikah kamu lompat ke bawah?”
Lobsang Jigme merenung, ia mesti memandang Guru laksana Buddha, dan Buddha pasti akan menolongnya, ia pasti akan baik-baik saja, akhirnya ia pun benar-benar terjun ke bawah.
Di tepi jurang ada sebuah pohon yang berdahan sangat panjang. Ketika ia terjun ke bawah, secara kebetulan jubahnya tersangkut, sehingga ia pun selamat. Ia berpikiran: “Ini semua berkat uluran tangan Guru yang mencengkeram jubah saya.” Keyakinannya terhadap Sang Guru semakin bertambah.
Suatu ketika terjadi kebakaran, ada sebuah rumah yang dilalap api, dan di dalamnya masih ada beberapa anak. Temannya mengatakan: “Engkau memiliki daya adhisthana dari Guru, masuklah ke dalam api, api tidak akan membakarmu.”
Ia menganggapnya benar, maka ia pun masuk ke dalam rumah yang terbakar untuk menyelamatkan anak-anak yang masih berada di dalam. Berkat keberanian dan stamina yang sangat baik, maka ia benar-benar berhasil menyelamatkan mereka dari bencana, dan ia pun semakin yakin kepada daya adhisthana Sang Guru.
Yang ini adalah sebuah kisah yang sangat terkenal, suatu ketika, Lobsang Jigme bersama Guru dan para saudara Sedharmanya, tiba di tepi sebuah sungai yang arusnya sangat deras, semuanya bersiap untuk naik ke perahu.
Seorang saudara Sedharma berkata kepadanya: “Engkau memiliki daya adhistana dari Guru, jadi tidak perlu naik perahu, engkau bisa berjalan biasa sampai ke seberang.”
Kebetulan ia sedang bersama Sang Guru, ia pun memohon kepada Sang Guru. Ia berkata: “Guru, saya tahu daya adhisthana-Mu ada pada diri saya. Engkau adalah Buddha, Engkau pasti dapat memberikan adhisthana supaya saya dapat menyeberangi sungai ini , walau arus air sangat deras, saya pasti mampu berjalan sampai ke seberang.”
Guru itu berpikir: “Siswa ini lugu sekali, karena ia ingin berjalan, maka biarlah ia berjalan!” Ia pun menganggukkan kepala, dan semua saudara Sedharma menantikan tontonan seru.
Lobsang Jigme benar-benar memandang ke arah seberang , dan tanpa melihat arus air yang sangat deras, ia langsung berlari menyeberang. Guru dan semua saudara Sedharmanya sangat takjub , ternyata ia bisa berjalan di permukaan air!
Berkat keyakinannya kepada daya adhisthana Sang Guru, dan kekuatan perlindungan segenap Buddha dan Bodhisattva , ia pun mampu melakukan semua itu.
Guru itu merasa daya adhisthananya benar-benar terlampau banyak, “Dengan melafalkan namaku, ia bisa berjalan di atas permukaan air ini! Berarti seharusnya aku sendiri juga bisa berjalan di atas permukaan air!” Ia adalah seorang Guru, cukup dengan melafal namanya sendiri maka ia juga bisa. Sebagai seorang Guru mana boleh diri sendiri tidak mampu? Apa masih perlu naik perahu menuju seberang?
Guru ini mengatakan dirinya juga bisa, akhirnya ia memutuskan untuk berjalan. Setelah beberapa langkah, Sang Guru pun hanyut (Maha Guru tertawa) , Guru ini tidak kembali lagi untuk selama-lamanya.
Moral dari kisah ini adalah mengenai daya dari sraddha. Ketika keyakinan seorang Guru kalah dari seorang siswa , maka daya sraddha siswa tersebut dapat mengantarnya menuju keberhasilan.
Seorang Guru mesti memiliki daya sraddha, dengan demikian baru bisa memberikan bimbingan supaya siswa memiliki daya sraddha. Akan tetapi dalam pustaka ada tertulis bahwa sekalipun seorang Guru memiliki kemampuan, namun apabila siswanya sendiri tidak memiliki sraddha kepada Guru tersebut, maka daya tersebut tetap tidak akan muncul.
Namun apabila di antara para siswa, ada yang memiliki sraddha seratus persen terhadap Gurunya sendiri , sekalipun Sang Guru tidak memiliki kemampuan, maka siswa ini tetap bisa memperoleh keberhasilan. Demikanlah daya dari sraddha yang sungguh menakjubkan.
Oleh karena itulah kisah ini tersebar di Tibet. Siswa memiliki keyakinan terhadap Gurunya, sehingga timbul daya dari keyakinan tersebut. Namun keyakinan Sang Guru justru kalah dari siswanya sendiri.
Sebagai seorang siswa, apabila Anda memandang Guru laksana Buddha, maka daya adhisthana Buddha akan berada pada diri Anda. Ketika Anda memandang Guru Anda sendiri sebagai orang awam, maka daya adhisthana tidak akan muncul, ini sangat penting untuk diperhatikan.
Maksud dari kisah tersebut adalah, apabila Anda memiliki keyakinan kepada Guru, maka Anda akan memandang Guru laksana Buddha, sehingga saat Anda menekuni sadhana dari Guru tersebut, maka Anda akan memperoleh daya adhisthana. Jika Anda memandang Guru sebagai orang awam, Anda pun akan mencari-cari kekeliruannya, dengan demikian apa yang Anda tekuni tidak akan bermanfaat. Sebab sebuah sadhana diajarkan oleh Guru kepada Anda, namun Anda mengkritik kesalahan Guru, sekalipun Anda menekuni sadhananya, mana mungkin bisa menghasilkan kekuatan? Tidak akan berkekuatan.
Ada sebuah tuturan: “Memandang Guru laksana Buddha, dan mengenang kebajikan Guru, akan memperoleh adhisthana Tri-ratna, sehingga dapat dengan cepat mencapai Kebuddhaan. Memandang Guru sebagai awam, dan mencari-cari kesalahan Guru, berarti merendahkan Dharma, dan merintangi keberhasilan diri sendiri.”
Om Mani Padme Hum.