( TBS Seattle / Shi Lianqi釋蓮麒 )
“Burung walet datang !” Mereka terbang berkelompok menembus angin sepoi yang sejuk, kicauan merdu berirama saling sambung-menyambung laksana rangkaian mutiara, menyambut kedatangan mobil yang ditumpangi oleh Dharmaraja Liansheng dan Gurudara tiba di Rainbow Temple (彩虹雷藏寺).
Melihat burung walet terbang dengan indah, Mahaguru tersenyum mengatakan : “Burung walet adalah pertanda kemujuran.” Sejak zaman dahulu ada ungkapan, “Burung walet adalah burung kemujuran, memasuki rumah membawa peruntungan besar.”, bila burung walet membuat sarang di rumah seseorang, berarti rumah tersebut memiliki fengshui yang baik, dan mengindikasikan bahwa nasib baik akan menaungi keluarga tersebut.
Dalam karya tulis nomor 170 “Menoleh kepada Gerimis di Seattle”, Mahaguru menuliskan bahwa burung walet membangun sarangnya di Rainbow Vila selama beberapa generasi turun-temurun, serta mengingatkan para sadhaka di Rainbow Vila bahwa di lantai koridor, di atas mobil, dan di dekat pohon akan ada gerombolan burung yang meninggalkan kotoran berwarna putih. Selain itu, semua mesti berwelas asih melindungi kehidupan di sekitar Rainbow Vila, seperti rusa, semut, kupu-kupu dan lain sebagainya. Berlapang dada, tiada benci, dan mengembangkan kebajikan dalam memperlakukan kehidupan yang semula telah ada di lokasi ini.
Mahaguru mengatakan : “Pada masa awal membuka tanah untuk pembangunan Rainbow Vila, di permukaan tanah ada sebuah sarang semut yang besar. Saat itu pekerja menyarankan untuk langsung membakarnya, ini merupakan cara yang paling cepat dan mudah. Namun karena Mahaguru menolak untuk membunuh, akhirnya semua mengerahkan upaya maksimal untuk memasukkan sarang semut ke dalam kotak dan memindahkannya ke dalam hutan untuk dilepas.” Kelembutan hati Mahaguru terhadap semua makhluk selalu nampak dalam setiap peristiwa. Mungkinkah semut hitam besar yang saat ini ada di depan homasala merupakan keturunan semut yang dulu tidak sempat pindah ?
Relawan yang ikut menyambut kedatangan Mahaguru terus menatap liontin giok yang tergantung di depan rompi naga Mahaguru, Mahaguru memperkenalkan : “Konon ini adalah benda bersejarah yang digali keluar dari tanah.” Usai bernamaskara kepada Triratna Mandala, Mahaguru dan Gurudara mendengar ada orang yang menelepon menanyakan mengenai tempat abu di rumah abu Mahapadminiloka, Mahaguru mengatakan : “Terhadap umat atau simpatisan yang datang berkunjung maupun bertanya, kita mesti perlakukan mereka dengan hormat, menyambutnya dengan sopan, jangan meninggikan diri. Ajaran Buddha dalam membimbing insan merupakan sebuah pelayanan, upayakan secara maksimal untuk memberi kemudahan bagi insan, dengan demikian baru bisa menyeberangkan insan luas yang berjodoh.”
Mahaguru, dengan tubuh Dharmaraja, secara langsung memberi contoh bagaimana melakukan postur tunduk 90 derajat. Gurudara menambahkan, tempat ibadah ini ada berkat welas asih dan budi jasa Mahaguru, sehingga kita semua memiliki lokasi yang baik untuk bhavana, namun kita mesti terus tekun untuk maju, tidak bisa hanya mengandalkan dukungan dari pendahulu, sebab hal itu tidak akan bisa bertahan lama.”
Teringat tahun lalu di Taiwan Lei Tsang Temple, True Buddha Foundation ( TBF ) menyelenggarakan Lokakarya Protokoler, mengundang seorang pembicara ahli dari dunia industri. Zhenfo Zong bisa terus berkembang selama puluhan tahun ini, selain karena keberhasilan bhavana Mahaguru, kesejatian Sadhana Tantra Zhenfo, dan respon spiritual para Buddha dan Bodhisattva, semua juga tak lepas dari bagaimana Mahaguru dan Gurudara senantiasa bersikap ramah dan sopan terhadap setiap insan, bersikap toleran dan menyesuaikan diri dengan para insan, ini merupakan salah satu kunci utama dalam kehidupan masyarakat masa kini yang sangat memerhatikan hubungan sosial. Semua baru menyadari bahwa selama puluhan tahun ini, tutur kata dan perilaku Mahaguru dan Gurudara dalam berinteraksi dengan khalayak merupakan teladan terbaik dalam melayani tamu.
Saat santap bersama, Mahaguru mengisahkan kembali mengenai “Anatman, tiada persoalan, acitta, dan amanasikara” yang dikupas dalam Dharmadesana usai Upacara Homa Tara Peredam Wabah sore hari itu. Dalam kehidupan nyata, di mana pun kita bisa mengalami ujian bhavana. Mahaguru mencontohkan pengalaman diri sendiri, “Pernah di suatu malam bermimpi sebutir permata dicuri orang, kemudian terus berusaha untuk memintanya kembali, namun orang itu tidak mau mengembalikannya. Dalam mimpi menjadi panik, hampir saja hendak memohon supaya orang itu berkenan mengembalikan, saat itu pun langsung terbangun, di samping ada suara yang memberitahu : ‘Anda tidak lulus ujian.’”
Gurudara juga mengisahkan bahwa beliau pernah bermimpi di semua saku pakaian beliau penuh dengan uang kertas, bahkan masih berusaha menggunakan rok untuk menampung uang kertas yang berserakan di lantai. Seorang relawan di samping mengatakan, Mahaguru dan Gurudara ingin menggunakan uang dan harta tersebut untuk berdana dan berbuat kebajikan, sehingga menjadi panik. Mendengarnya, Mahaguru menjawab : “Itu tetap saja merupakan rasa tamak ! Dalam kondisi jaga, tidak sulit untuk mempertahankan kesadaran benar, bahkan kita bisa mengisi kantung penuh dengan uang untuk diberikan kepada orang lain, juga tidak dimasukkan dalam hati, namun dalam kondisi mimpi, tidaklah mudah untuk menjadi acitta dan amanasikara.” Mahaguru dan Gurudara yang bijak dan kaya akan pengalaman hidup, menggunakan peristiwa dalam mimpi untuk mengingatkan kita semua, bagaimana mungkin kita siswa Zhenfo tidak semakin mawas diri ?!
Mahaguru memuji puding nasi ala Vietnam buatan biksulama yang memasak di dapur, cita rasanya sangat tulen, membuat Mahaguru teringat 30 tahun lalu ada seorang umat di Seattle yang menyajikan puding nasi ala Vietnam kepada Mahaguru, sampai saat ini aromanya masih bisa terbayang. Semua di lokasi sangat terkejut, Mahaguru masih ingat sebuah lauk yang pernah dimakan puluhan tahun yang lampau, bahkan masih ingat marga dan nama dari umat yang memberikan persembahan makanan. Mendengarnya, Mahaguru tertawa dan mengatakan : “Hahaha ! Seolah-olah telah tertangkap, untuk menjadi sepenuhnya anatman dan acitta sungguh sukar.” Di tengah pembicaraan dan tawa saat santap bersama Mahaguru dan Gurudara, kita bisa memperoleh banyak pelajaran kehidupan.
Mendadak ada yang mengingatkan bahwa tanggal 18 Mei telah tiba, pada tahun 1980, hari ini 40 tahun yang lalu, Mahaguru pertama kali menginjakkan kaki di Amerika Serikat, saat itu di Amerika terjadi letusan Gunung St. Helens yang terbesar sepanjang sejarah dan memengaruhi seluruh dunia, ibarat enam guncangan besar yang disebutkan dalam Sutra Buddha, namun untungnya tidak menimbulkan akibat yang fatal.
Mahaguru mengisahkan, saat berkeliling Amerika Serikat, setibanya di New York, kekasih dari putri seorang umat dari Zhanghua Taiwan membawa Mahaguru berkunjung ke Karma Triyana Dharmachakra di Upstate New York, saat itu pertama kalinya berjumpa dengan salah satu dari Empat Mulacarya : Gyalwa Karmapa ke-16, dan menerima beberapa abhiseka. Tidak lama kemudian, Mahaguru dari Taiwan hijrah ke Seattle, kemudian dari Mulacarya beliau belajar Anuttaratantra dan Dzogchen, mencapai Mahasiddhi, memutar Dharmacakra agung, dan membabarkan Dharma Tantra Zhenfo untuk menyeberangkan insan luas.
Guru Padmasambhava pernah meramalkan : “Di masa penguhujung Dharma yang penuh lima macam kekeruhan, di saat burung besi terbang di angkasa, Tantra akan semakin berkembang.” Bukankah pabrik pesawat besar di dunia, Boeing ada di Seattle ! Ini adalah tanda kontak batin atau hanya sebuah kebetulan ? Semua itu sudah tidak lagi penting, sebab Dharmaraja Liansheng benar-benar telah membimbing insan yang tak terhitung banyaknya, dan Sadhana Tantra Zhenfo telah tersebar luas di seluruh dunia.
Mahaguru piawai dalam sastra dan seni, piawai dalam seni olah tubuh, beliau dapat hening, juga dapat bergerak penuh vitalitas, usai upacara, beliau menuju ke bhaktisala untuk menampilkan Toya Vajra, menggunakan toya untuk menyapu bersih semua rintangan para insan. Kemudian Mahaguru duduk di kursi piano, sepasang tangan beliau mulai memainkan tuts piano, pemandangan ini sangat mengguncang ! Jemari Mahaguru menari-nari di atas tuts hitam dan putih, sembari mengatakan bahwa beliau sudah sangat lama tidak bermain piano, sehingga ada bagian yang lupa. Gurudara berdiri di samping mengingatkan beberapa tangga nada, akhirnya Mahaguru berhasil merampungkan sebuah musik singkat, suara piano menjelma menjadi kepak sayap kupu-kupu yang terbang ke atas dan ke bawah, kemudian melalui jendela terbang semakin menjauh ke angkasa, para relawan sepenuh hati meresapi suara piano yang membawa semua kembali pada kepolosan di masa kanak-kanak. Di akhir, Mahaguru memperagakan gerakan Tinju Taiji, mengakhiri serangkaian kegiatan hari itu.
Melihat Mahaguru senantiasa bersungguh-sungguh dalam segala hal, baik itu saat memimpin upacara maupun Berdharmadesana di atas Dharmasana, atau saat sedang duduk memainkan piano, serta tiap kali memperagakan gerakan Toya Vajra dan Tinju Taiji, selalu dapat kita rasakan kesungguhan hati Mahaguru, kita dapat memperoleh manfaat dari filosofi kehidupan Dharmaraja yang penuh keleluasaan.
Dari Rainbow Temple menatap ke pegunungan hijau nun jauh di sana, di saat senja gerombolan burung berkicau kembali ke sarangnya, kami menengadahkan kepala memandang ke empat penjuru mengikuti burung walet yang terbang melesat dengan indah untuk pulang, “Burung walet telah kembali !”