Bedah Buku:
Tahukah Anda bahwa Dharmaraja Liansheng juga pernah mengunjungi tempat suci Agama Buddha di Indonesia yaitu Candi Borobudur?
Mari kita resapi kekaguman dan perasaan Dharmaraja terhadap tempat suci ini.
Keagungan Borobudur
Karya tulis Dharmaraja Liansheng ke-213【Tulisan Untuk Bumi】
Candi Borobudur adalah peninggalan stupa Buddha berukuran raksasa yang terletak di Jawa Tengah, Indonesia, merupakan bangunan Agama Buddha terbesar di dunia pada abad ke-9 Masehi. Namun, entah sejak kapan, Candi Borobudur tertimbun oleh abu vulkanik dan hutan rimba yang rimbun, hingga awal abad ke-19 baru ditemukan kembali oleh orang Belanda yang saat itu menjajah Indonesia. Setelah situs ini diekskavasi, mengundang decak kagum seluruh umat manusia. Candi Borobudur masuk dalam kategori empatk eajaiban terbesar di belahan timur bersama dengan Tembok Raksasa di Tiongkok, Piramida di Mesir, dan Angkor Wat di Kamboja.
Ketika berada di Indonesia, saya sempat mengunjungi Pulau Bali, Solo, Surabaya, Jakarta, dan Bandung.
Yang membuat saya terkagum-kagum adalah Candi Borobudur.
Saya mengatakan bahwa Candi Borobudur adalah mandala (altar) terbesar dalam Agama Buddha Tantrayana yang benar-benar berdiri di permukaan bumi.
Candi Borobudur yang berada di Pulau Jawa, Indonesia adalah candi Agama Buddha terbesar di dunia, di mana sisi dalamnya berbentuk lingkaran, sisi luarnya berbentuk bujursangkar, megah berdiri di permukaan bumi, bentuknya seperti bujursangkar yang dalamnya bundar, mirip kuetart.
Konon, dibangun sekitar abad ke-8 hingga ke-9 pada zaman Dinasti Syailendra.
Inilah mandala seribu Buddha.
Terbentuk dari 300 ribu keping batu yang dipahat dan memiliki 9 tingkat.
Tingginya 35 meter.
Panjangnya 110 meter.
Banyak relung Buddha.
Adarelief yang indah, isinya memuat tentang "Hikayat Sang Buddha", "Kisah Jataka", "Kisah Sudhana Menemui 53 Orang Kalyanamitra".
Saya mencapai puncak candi, melakukan pradaksina satu putaran dari atas ke bawah, saya menjapa mantra seribu Buddha sembari melakukan pradaksina.
Menghadap angkasa, saya mengerti rendah hati.
Menghadap bumi, saya mengerti rendah hati.
Menghadap samudra, saya mengerti rendah hati.
Menghadap Candi Borobudur, saya mengerti rendah hati.
Menghadap seribu Buddha, saya mengerti rendah hati.
Apalagi menghadap 5 juta siswa, saya Sang Mahakalyanamitra ini, Dharmaraja Liansheng Sheng-yen Lu, harus lebih mengerti rendah hati.
Ketika saya berdiri di atas Candi Borobudur, terngiang-ngiang terus di dalam batin saya, “rendah hati, rendah hati, rendah hati….”
Saya sedari awal telah berubah menjadi sebutir pasir.
Sebab saya tidak mampu memindahkan sebongkah batu pun.
Apa artinya diri saya?
Saya hanya dapat beranjali dengan patuh.
Saya hanya dapat menunduk dengan patuh.
Saya hanya dapat menjapa mantra dengan patuh.
Saya telah ditundukkan oleh mandala di bumi yang mulia ini, Candi Borobudur berdiri megah di permukaan bumi, apa artinya saya sebutir pasir ini? Saya bahkan tidak sebanding dengan sebutir pasir, sedari awal saya adalah semilir angin sejuk.
Mulut Sang Penceramah sedari awal telah bisu!
Ilham juga telah mati!
Tangan tidak lagi dapat menulis!
Karya juga menjadi abu!
Hidup tidak dapat dikendalikan, perasaan tidak dapat dikendalikan, sebenarnya segala sesuatu di dunia ini tidak dapat dikendalikan, segala-galanya, semuanya tidak dapat dikendalikan.
Inilah kebenaran sejati!
Di depan Candi Borobudur, saya hanya dapat menulis sebait gatha berbunyi:
Mencari Buddha dengan mengitari stupa Buddha
Jangan mengira ini hanyalah sebuah sandiwara
Di tengah hutan rimba bumi pertiwi
Inilah Sang Bodhisattva Hyang Tak Terperi
Semerbak keharuman langit menerpa
Kiranya bulir hujan yang memenuhi angkasa
Berpadu dengan gumam mantra yang kujapa
Jataka pun terpampang di depan mata
Bersihkan semua rintangan karma
Sapu semua lumut
Seluruh bumi adalah Buddha
Seluruh bumi adalah alam suci
Di atas Candi Borobudur
Apa lagi keraguan Anda
* Untuk membaca lebih lengkap “Karya Tulis Dharmaraja Liansheng”, silahkan klik tautan berikut:
https://www.tbboyeh.org/ind#/index