Bedah Buku:
Dialog antara guru sesepuh Bodhidharma dan Kaisar Wu dari Dinasti Liang sangat terkenal di dunia,
Jika semua perbuatan seperti membangun vihara, berdana untuk Sangha, membuat pratima Buddha, menulis Sutra Buddha tidak ada pahalanya, lantas, bagaimana memotivasi umat manusia berbuat kebajikan?
Dharmaraja Liansheng akan menjawab kebingungan kita melalui artikel “Memang Sudah Kewajiban Adanya”.
Memang Sudah Kewajiban Adanya
Karya Tulis Dharmaraja Liansheng ke-185【Penjelajahan Astral Leluasa】
Saya akhirnya bertemu Buddha Bodhidharma di dalam penjelajahan astral samadhi. Di India, Buddha Bodhidharma adalah patriark ke-28. Di Tiongkok, Ia adalah patriark pertama, yaitu Guru Sesepuh Bodhidharma. Beliau masih melakukan vipassana dengan menghadap tembok.
Gua Buddha Bodhidharma sudah jauh berbeda, nuansa di dalam gua tampak megah, cahaya Buddha bersinar gemilang, layaknya siang hari.
Ada aneka macam hidangan tersaji.
Ada tambur dan beberapa perabot Buddhis yang semuanya sangat apik dan indah.
Yang benar-benar di luar dugaan saya adalah Guru Sesepuh Bodhidharma melakukan vipassana menghadap tembok bukan dengan duduk di tanah melainkan dengan melayang beberapa inci dari tanah.
Saya bernamaskara pada Buddha Bodhidharma.
Saya teringat dengan dialog antara Guru Sesepuh Bodhidharma dan Kaisar Liang Wudi. Kaisar Liang Wudi membangun vihara, berdana kepada Sangha, membuat pratima Buddha, menulis Sutra Buddha, dan berbagai kebajikan yang tidak terhitung banyaknya.
Pada tahun ke-18 periode Tianjian, dimulai semenjak Kaisar Liang Wudi menerima Sila Bodhisattva dari Guru Agung Huiyue di Vihara Caotang. Orang yang menerima Sila lebih dari 84 ribu orang.
Pada tanggal 8 bulan 4 tahun ke-3 periode Tianjian bertepatan hari lahir Sang Buddha, sebanyak 20 ribu umat Buddha yang terdiri dari anggota Sangha dan umat perumah tangga, mengadakan seremoni “Meninggalkan Taoisme dan Menganut Buddhisme”.
Pada tahun ke-10 periode Tianjian, mengumumkan “Maklumat Berpantang Minum Minuman Keras dan Makan Daging”.
Pada tahun ke-16 periode Tianjian, pertama kali memelopori “Tidak Membunuh Makhluk Hidup” dalam ritual sembahyang.
Guru Sesepuh Bodhidharma malah mengatakan, “Tidak ada pahala.”
Guru Sesepuh Bodhidharma menjelaskan, “Buah kecil di alam manusia dan Alam Dewa adalah sebab musabab yang bercela, pahala yang berpamrih, pada hakikatnya adalah sunya.”
Koan Zen yang sudah terkenal sejak zaman kuno ini sudah sering dibahas oleh para cendekiawan Agama Buddha. Namun, saya teringat, bukankah pernyataan ‘tidak ada pahala’ ini telah mempermalukan seorang “Putra Langit Berhati Buddha”, “Bodhisattva Kaisar”.
Bahkan membuat generasi berikutnya merasa gamang untuk berbuat kebajikan dan menolong umat manusia, bukankah ini kurang baik? Melukai hati orang yang berbuat kebajikan?
Pertanyaan ini sempat terlintas di benak saya tetapi saya tidak berani bertanya.
Tak disangka, Buddha Bodhiharma justru telah mengetahui isi hati saya.
Beliau bertanya, “Apakah Anda ingin membahas perihal ‘tidak ada pahala’ dengan Saya?”
Saya menjawab, “Benar. Satu kalimat ‘tidak ada pahala sama sekali’ memang merupakan kebenaran mulia tertinggi. Namun, justru menghancurkan tekad orang-orang untuk menolong umat manusia dengan welas asih, semua orang tidak sudi lagi berbuat kebajikan, lalu apa solusinya? Apakah ada penjelasan lain?”
Buddha Bodhidharma berkata, “Saya sangat senang Anda bertanya pada saya, kini saya akan menerangkannya pada Anda.”
Buddha Bodhidharma melanjutkan, “Semua perbuatan bajik ini, memang sudah kewajiban adanya.”
Saya senang sekali begitu mendengarnya! Dengan adanya pernyataan ‘memang sudah kewajiban adanya’ ini, seketika saya paham semua.
Misalnya:
- Orang lain kelaparan, kita memberikan makanan.
- Orang lain kedinginan, kita memberikan pakaian.
- Orang lain jatuh sakit, kita memberikan pengobatan gratis.
- Orang lain menderita, kita membahagiakan mereka, dan lain sebagainya.
Semua ini memang sudah kewajiban kita semua.
Contoh lagi:
Ada seorang balita merangkak di tepi sumur dan bermain di sana, ia nyaris jatuh, separuh tubuhnya di dalam sumur, separuhnya lagi di tepi sumur, kedua kakinya terus-menerus menendang, coba tanya, jika Anda melihatnya, Anda tolong atau tidak?
Tentu saja tolong, sebab setiap orang pasti memiliki rasa simpati terhadap orang yang mengalami musibah atau penderitaan. Memang sudah seharusnya dilakukan, tidak hanya harus menolong, bahkan harus menolong secepat-cepatnya, tidak boleh telat semenit bahkan sedetik pun.
Saya akhirnya mengerti sepenuhnya maksud Buddha Bodhidharma mengatakan ‘tidak ada pahala’. Hal ini memang sudah kewajiban adanya bagi Kaisar Liang Wudi, sehingga berbuat pun tidak ada pahala sama sekali.
Namun, apabila karena ‘tidak ada pahala’ lantas tidak berbuat, berarti dasar-dasar menjadi seorang manusia pun tidak ada lagi, tinggal menunggu waktu terpuruk ke Tiga Alam Samsara.
Saya tentu mengerti maksud ‘tidak ada pahala’ dari Buddha Bodhidharma, ini merupakan Prajna suci nan paripurna.
Namun, berapa banyak insan yang memahaminya?
Oleh sebab itu, saya berkata seperti berikut:
“Tidak ada pahala. Akan tetapi, ini memang sudah kewajiban adanya.”
“Berbuatlah tanpa memikirkan pahala.”
“Tidak berbuat, lebih tidak ada pahala lagi, tiada tiada tiada pahala.”
* Untuk membaca lebih lengkap “Karya Tulis Dharmaraja Liansheng”, silahkan klik tautan berikut: