Kutipan Dharmaraja Liansheng:
Konsep kebiksuan dan perumah tangga itu beda total,
Banyak perilaku biksu itu tidak dipahami, namun, mengapa masih banyak orang memilih menempuh jalan melatih diri ?
Di dalam artikel “Perbandingan Antara Biksu dan Perumah Tangga”, Dharmaraja Liansheng menuliskan perbedaan antara keduanya.
Perbandingan Antara Biksu dan Perumah Tangga
Karya Tulis Dharmaraja Liansheng ke-128 【Sayap Kebijaksanaan】
Usai menulis “Memandang Biksu dengan Pandangan Positif”, merasa maknanya belum semua tertuangkan, masih ada yang hendak saya sampaikan, sehingga saya menulis lagi “Perbandingan Antara Biksu dan Perumah tangga” !
Pandangan orang awam, lahir, bersekolah, tumbuh dewasa, bekerja mencari nafkah, menikah dan melahirkan anak, membesarkan anak, merawat orang tua, terakhir meninggal dunia, inilah seluruh kehidupan “perumah tangga”, dan inilah proses kehidupan.
Konsep pemikiran orang awam tidak bisa keluar dari bingkai ini, selamanya bersekolah, berkarir, tahta dan harta, pernikahan, putra-putri… berputar-putar di dalam lingkaran ini, jika meninggalkan lingkaran ini, wajar saja dianggap “aneh” !
Sementara Biksu, karena meninggalkan lingkaran ini, dengan sendirinya dipandang sebagai “makhluk aneh”. Dalam suatu kesempatan, Chung Tai Chan Monastery mentahbiskan banyak orang menjadi Biksu, wajar saja dipandang oleh masyarakat luas sebagai “peristiwa aneh”, para orangtua menegaskan bahwa putra-putri tidak berbakti, bertentangan dengan konsep idealisme kehidupan orang awam.
Penyebab para orangtua murka, tadinya berharap putra-putri tumbuh dewasa, berprestasi di sekolah, meraih gelar PhD., sukses dalam karir dan menghasilkan nafkah, pernikahan yang bahagia, melahirkan anak-anak, sekarang, menjadi biksu, semua harapan menjadi sia-sia dan pupus, segalanya musnah. Melihat kepala putra-putri gundul, bagaimana mungkin tidak marah?
Namun, dalam konsep kebiksuan, memang berbeda dengan perumah tangga, yaitu mengubah kehidupan duniawi, memasuki “jalan non-duniawi”, senang belajar Buddhadharma, ingin terbebas dari kilesa duniawi, menyelami Sutra Pitaka, menjalani hidup suci, kembali ke jalan yang benar dan memasuki pencerahan, serta mencapai keberhasilan Kebuddhaan.
Pemikiran para Biksu bisa diwakilkan oleh sebuah sajak karya Wang Anshi.
Memahami dunia ibarat mimpi, tidak menuntut apa-apa,
Tidak menuntut apa-apa, hati pun memasuki kondisi sunya dan nirvana;
Serasa di dalam mimpi mengikuti alam mimpi,
Berhasil mencapai pahala mimpi sebanyak pasir di sungai.
Kehidupan kebiksuan adalah hakikat Mahabodhicitta, yaitu suci, tanpa pamrih, dan samadhi.
Kilas balik dunia ini, sarat kekacauan, penuh khayalan dari keserakahan, kemarahan, dan kebodohan, merupakan dunia yang saling memangsa satu sama lain, dunia ini tidak bersih, tubuh sendiri tidak bersih, jika hidup ini diisi dengan kesibukan duniawi, bukankah itu suatu pemborosan dan kekeliruan.
Biksu itu boleh dikatakan “tidak kembali lagi”, tidak sudi datang lagi ke dunia Saha, menghentikan nafsu keinginan, menghentikan kebingungan, menghentikan karma buruk, menghentikan kilesa, menghentikan reinkarnasi, menghentikan tumimbal lahir. Oleh karena itu, saya mengatakan bahwa menjadi Biksu itu sama halnya “tidak kembali lagi”, tidak akan kembali ke dunia.
Biksu beranggapan bahwa dunia adalah lautan duka, misalnya “duka karena berpisah dengan orang yang dicintai”, “duka karena berkumpul dengan orang yang dibenci”, “duka karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan”, “duka karena didominasi pancaskanda”, “duka karena lahir-sakit-tua-mati”, dan lain-lain, demi mencapai Kebuddhaan, mengejar tingkat spiritual yang lebih tinggi, dan terbebaskan dari lautan duka, maka menempuh jalan kebiksuan.
Tentu saja, Buddha Bodhisattva juga ada yang datang ke dunia, Mereka turun lagi ke dunia demi menyeberangkan makhluk hidup terbebas dari lautan duka.
Begitu Biksu dan perumah tangga dibandingkan seperti ini, maka orang-orang pun mengerti perbedaan di antaranya, satu di langit, satu di bumi, ada perbedaan langit dan bumi, perbedaan konsep ini jika dibahas tidak akan ketemu titik temunya!
Terus terang saya katakan, saya pernah menasihati putra-putri saya agar menjadi Biksu, saya mencari tahu sendiri dengan bertanya kepada Lu Fo-ching dan Lu Fo-chi.
Jawaban mereka adalah: “Ini……..”
Mereka masih belum kepikiran menjadi Biksu !
Saya merasa, di antara langit dan bumi ini, semua tergantung pada jodoh! Biksu maupun perumah tangga, semua dikendalikan oleh kata “jodoh”.
Demikianlah dua baris pantun yang saya tulis:
Yang berjodoh akan tinggal, yang tidak berjodoh akan pergi
Seembus angin sejuk mengantar kepergian saya
* Untuk membaca lebih lengkap “Karya Tulis Dharmaraja Liansheng”, silahkan klik tautan berikut: