Bedah Buku:
Apa itu kekayaan di sepuluh penjuru? Sebagai sadhaka, bagaimana menyikapi uang? Apa yang merupakan milik sendiri? Apakah ia benar-benar ada? Dharmaraja Liansheng menambahkan sebuah pikiran yang benar terhadap nilai-nilai kita.
Kekayaan di Sepuluh Penjuru
Karya Tulis Dharmaraja Liansheng ke-167_Mendengarkan Suara Hatiku
Saya belum pernah bertemu konglomerat yang memiliki harta berlimpah selama banyak generasi. Peribahasa orang Tionghua berbunyi: “Kekayaan tak lewat dari 3 generasi!”
Kaisar.
Shi Chong.
He Shen.
Tao Zhu Gong.
Di mana kekayaan mereka? Entah mengalir ke mana?
Saya sejujurnya memberitahu Anda semua, saya pernah bertemu banyak konglomerat, pernah melihat mereka berjaya, pernah melihat mereka gagal, begitulah peristiwa di dunia ini, sungguh sangat memprihatinkan!
Dipikir-pikir, masalah kekayaan, ibarat ombak laut, pasang dan surut. Kadang-kadang sungai kecil, kadang-kadang sungai besar, kadang-kadang danau, kadang-kadang laut, kadang-kadang oase di gurun, kadang-kadang hanya sebuah sumur, kekayaan ibarat air, mengalir ke sana ke mari, mustahil untuk dimiliki selamanya.
Saya ingin memberitahu Anda semua:
“Mustahil dimiliki!”
Pernah ada seorang konglomerat saat tersadarkan memberitahu saya:
“Yang kita makan barulah milik kita, yang kita gunakan barulah milik kita, selebihnya, hanya dipinjamkan untuk ditatap saja!” (Dipinjamkan pada Anda untuk ditatap belasan tahun saja)
Kalimat ini sungguh merupakan petuah yang sangat masuk di akal.
Lantas, apa yang orang awam serakahi? Yaitu kekayaan yang mengalir ke sana ke mari. Sebenarnya, siapa yang benar-benar dapat menyimpannya? Yang saya maksud dengan “kekayaan sepuluh penjuru” adalah terbang ke sana ke mari, mengalir di sepuluh penjuru.
Siswa mulia! Para biksu dan biksuni, kekayaan sepuluh penjuru sebenarnya adalah dana paramita dari dermawan di berbagai penjuru, ingat, di dalamnya terdapat suatu kekuatan berdana, selain bersyukur, kita sebagai sadhaka harus memiliki berkah untuk menerimanya, kita harus membalas budi atau jasa mereka secara setimpal, ini adalah petuah yang sangat masuk di akal, sadhaka sendiri harus memiliki berkah, juga harus dapat benar-benar melatih diri, memberikan berkah kepada dermawan. Sadhaka jangan serakah, apalagi keserakahan manusiawi, yang dapat kita lakukan hanya bersyukur dan memberikan kepada dermawan kesempatan menanam ladang berkah Buddhadharma.
Ingat selalu gatha itu:
Sebutir beras dari dermawan.
Sebesar Gunung Semeru.
Jika tidak melatih diri.
Dibayar dengan menyandang bulu dan memakai tanduk.