undefined



Kutipan Dharmaraja Liansheng:

Ketika manusia jelang wafat, apa saja kondisi yang akan ia alami ?

Apa persiapan yang harus dilakukan dalam keseharian untuk mengatasi rintangan-rintangan ini ?

Artikel ini boleh dibilang adalah “The Tibetan Book of Living and Dying” yang wajib dibaca !


Saat-saat Terakhir

Karya Tulis Dharmaraja Lian Sheng ke-177Penglihatan Makhluk Tak Kasatmata

 

Roh saya keluar dari raga, di dalam ‘samadhi’, saya pergi ke rumah seorang siswa Zhenfo Zong, saya melihat kesibukan di rumah siswa ini, orang mandar-mandir, semua sedang mempersiapkan urusan ‘duka’, begitu saya melihat ke arah tempat tidur, yang berbaring di atasnya justru siswa Zhenfozong.

Toh telah datang, saya ikuti saja perkembangan di sana, di dalam samadhi, roh saya bersemayam di asap dupa yang mengepul, mengamati dengan saksama kondisi siswa yang sedang sekarat ini.

 

Prana di tubuh siswa ini, dari kaki naik ke atas, saat di bagian kaki berhenti sesaat.

Saya mengamati kaki siswa tersebut.

Ternyata kakinya berbuat kesalahan:

Ia menginjakkan kaki ke tempat-tempat hiburan malam, juga pernah di tanah pembatas sawah menginjak mati banyak semut, serangga, cacing....

Akhirnya, berkat pahala ‘Mantra Pembersihan’ dan ‘Sukhavati Vyuha Dharani’, prana pun naik ke cakra svadhisthana, saat ini sepasang kakinya pun mati.

 

Di cakra svadhisthana, rohnya sempat mentok:

Ketika ia masih muda, karena ia tidak tahan dorongan hasrat seksual, ia sempat terbuai dengan kehidupan malam, menanam impian yang tidak nyata.

Pernah pula suatu kali, ia tidak tahan godaan istri rekan kerjanya, ia sempat selingkuh dengan istri teman kantornya. (zina)

Sehingga, di cakra svadhisthana, hampir saja ia tidak bisa melewati rintangan, untung saja ia sering mengikuti upacara pertobatan, setulus hati bertobat, berkat daya ‘Pertobatan Air’, ‘Pertobatan Kaisar Liang’, ia berhasil melewati cakra svadhisthana.

 

Begitu melewati cakra svadhisthana, cakra svadhisthana pun mati, lalu tibalah di cakra manipura.

Prana mentok lagi di cakra manipura, penyebabnya adalah nafsu makannya sangat besar, ia banyak minuman arak dan makan daging dalam jumlah besar, doyan makan ‘ikan hidup’ (sashimi), juga doyan makan ‘udang hidup’, ‘kepiting hidup’, ‘rakun hidup’, ‘empedu ular’, ‘torpedo sapi’, ‘abalone’, ‘telur ikan mullet’....

Akhirnya berkat ‘Mantra Penyeberangan Manjusri’, ia melewati rintangan sulit ini.

 

Begitu cakra manipura dilewati, prana pun naik ke cakra anahata, sehingga separuh badan bagian bawah telah mati semua. Namun, rintangan di cakra anahata justru tidak mudah dilewati:

1. Ia dengki pada orang bijak.

2. Ia pernah mencelakai dan menjebak orang lain.

3. Ia berpikiran sempit.

4. Ia serakah akan materi.

5. Ia mudah sekali naik pitam.

6. Ia mendambakan ketenaran.

7. Ia membenci orang yang lebih baik daripada dirinya.

8. Ia keras kepala.

Rintangan di cakra anahata membuat hatinya galau, ibarat berada di dalam kuali minyak mendidih. Hal-hal yang menyiksa dirinya sejak kecil, termasuk yang sudah dilupakan, satu per satu muncul lagi di pikirannya, bahkan ia menyontek saat ujian, berkelahi dengan teman sekolah, mencuri uang orangtua, memalsukan sertifikat, memalsukan ijazah... semua dikilasbalik ibarat film.

 

Suatu ketika, ketika ia sedang dalam tuntutan hukum dengan seseorang, ia juga meminta dukun jahat untuk “mengguna-gunai” dan mengutuk klien dan pengacara dari pihak lawan, dan mereka semua mati. Rintangan di cakra anahata sangat menyulitkan dirinya, dan kejadian masa lalu ini membuatnya tidak bisa melewati rintangan di cakra anahata.

Untungnya, saat usianya agak lanjut, ia menyadari bahwa perbuatannya di masa lalu adalah kesalahan besar. Ia memperkuat keyakinannya terhadap Buddha. Kapan pun ia berbuat salah, ia langsung berlutut di depan pratima Bodhisattva Avalokitesvara dan menyatakan pertobatannya dengan berlinang air mata.

 

Ketika ia sedang berjuang melewati cakra anahata, saya melihat Bodhisattva Avalokitesvara memercikkan beberapa tetes air suci dari ranting willow.

Bodhisattva Avalokitesvara yang Mahamulia

Kesucian dan keagungan Bodhisattva adalah pembinaan selama berkalpa-kalpa sebelumnya

Tiga puluh dua Nirmanakaya menyebar ke seluruh dunia fana

Selama berjuta-juta kalpa menyadarkan makhluk di alam Jambudvipa

Bodhisattva selalu memercikkan air amerta di dalam kalasa

Dengan ranting willow di tangan Bodhisattva tanpa kenal masa

Bodhisattva serta merta hadir di mana pun insan berdoa

Selalu menjadi bahtera yang menyeberangkan insan dari lautan duka

 

Berkat ‘Kekuatan Avalokitesvara’, ia berhasil melewati cakra anahata. Hawa panas ini perlahan-lahan sampai ke cakra visuddha. Cakra visuddha juga mentok.

Ternyata ia pernah mengecam orang suci. Ia juga pernah mengumpat Guru sendiri saat pikirannya sedang dipenuhi dengan keragu-raguan. Ia ikut-ikutan orang lain mengecam Mahaguru. Namun, ia malah menekuni Sadhana Guruyoga yang Mahaguru ajarkan.

Di dalam kepulan asap dupa, saya geleng-geleng kepala, aduh! Tidak mudah membimbing insan!
Saya berkata, “Sudahlah! Sudahlah! Biarkan ia lewat!”

Siswa ini pun merasakan hawa panasnya melewati cakra visuddha, memasuki otaknya, menyatu dengan pemilik di cakra ajina. Lalu dari ubun-ubun, keluar dari raga, saat ini tubuh jasmani baru mati seutuhnya.

 

*

 

Setelah tubuh bardo siswa ini keluar dari ubun-ubun, ia terombang-ambing, berputar mengikuti pikirannya. Ia melihat raganya telah mati, ingin masuk lagi ke dalam raganya, tetapi terpental. Organ-organ badannya telah rusak.

Ia melihat keluarganya sedang berkabung, hatinya tidak tega untuk melepaskan mereka, tetapi ia tidak berdaya. Ia ingin bersama dengan mereka lebih lama lagi, mereka sepertinya tidak merasakan kehadirannya.

Dia mengembara ke sebuah kota, melihat leluhurnya ada di kota ini, para leluhurnya menyambutnya. Ia tiba-tiba tersadarkan bahwa tempat ini adalah alam baka. Ia teringat akan pesan Sang Guru, jika dijemput oleh leluhur, jangan ikuti mereka. Lalu ia beranjali dan merapal “Namo Amitabha”. Semua leluhur dan kerabatnya lenyap, dan kota itupun lenyap.

Di pinggiran kota ia bertemu dengan sekawanan musuh dan penagih utang.

Ada yang berteriak,“Kembalikan nyawaku!”

Ada yang berteriak,“Kembalikan uangku!”

Ada yang berteriak, “Bersihkan nama baikku!”

Sekawanan musuh dan penagih utang ini mengejarnya dengan golok dan pentungan di tangan mereka. Ia ketakutan dan bergegas melarikan diri, tetapi musuh dan penagih utang itu mendesaknya dengan segala cara. Ia menemui jalan buntu, ia menoleh dan merapal “Namo Amitabha”. Barulah musuh dan penagih utang tersebut menghilang.

 

Ia melihat sesosok raksasa lagi, dengan tampang beringas mengejarnya, ia pun melarikan diri ke sebuah gua, mencoba bersembunyi dari raksasa tersebut. Pada saat ini, ia teringat bahwa begitu ia masuk kedalam gua, ia pun memasuki rahim, yang mungkin merupakan kelahiran enam jenis hewan ternak. Ia tidak berani masuk, terpaksa ia merapal nama Buddha lagi. Raksasa itu lenyap, gua pun lenyap.

Ia sangat bimbang. Ia tidak tahu ke mana ia harus pergi. Tiba-tiba ia teringat pesan Mahaguru Dharmaraja Liansheng untuk segera pergi ke Vihara Vajragarbha, atau ke cetiya, atau ke tempat pujabakti bersama.

Baru saja timbul pikiran tersebut, ia telah sampai di Vihara Vajragarbha.

Di Vihara Vajragarbha terdapat Dewa Dharmapala yang berjaga di gerbang, ia terhalang.

Dharmapala menghardik, “Siapa? Mencurigakan sekali.”

Ia menjawab, “Lianhua xx.”

“Kepada siapa Anda bersarana?”

“Dharmaraja Liansheng Sheng-yen Lu.”

Dharmapala membiarkannya masuk ke vihara. Tubuh bardo harus mengingat nama Dharma dan nama Guru sarana.

Ia melihat kemegahan vihara, setiap pratima Buddha dan Bodhisattva tampak agung dan berkilauan cahaya keemasan, asap dupa mengepul, dan ia pun merasa lebih nyaman.

Kemudian ia melihat rekan-rekan Sedharma sedang berkumpul dan mengikuti pujabakti, mengundang Mulacarya Dharmaraja Liansheng, menjapa Mantra Hati Padmakumara. Padmakumara hadir di tengah altar mandala, cahaya putih yang sangat terang terpancar ke seluruh penjuru, membuatnya tidak bisa membukakan mata.

Ia beranjali dan menjapa, “Om. Guru. Liansheng Siddhi. Hum. Om. Guru. Liansheng Siddhi. Hum. Om. Guru. Liansheng Siddhi. Hum.”

Hanya tiga kali suara mantra, Padmakumara memancarkan 3 berkas cahaya, menjemput siswa ini terlahir di Mahapadminiloka.

 

Saya menulis puisi:

Masih ada tubuh bardo setelah kematian

Baik yang masih hidup maupun yang sudah mati bersedih pun tidak ada gunanya

Sekalipun usia muda terbuai oleh lagu dan minuman keras

Juga menjelma menjadi arwah yang gentayangan di dunia fana

 

Rintangan karma yang mengganggu

Hati yang sempit

Kekuatan sembilan ekor banteng mulai keluar

Keluar dan beterbangan

Betapa banyak karma kebencian datang merusak

 

Untung teringat mantra Buddha

Bahkan kembali ke Vihara Vajragarbha

Barulah terbebas dari belenggu dan dunia fana

 

* Untuk membaca lebih lengkap “Karya Tulis Dharmaraja Liansheng”, silahkan klik tautan berikut: https://www.tbboyeh.org/ind#/index

慶賀真佛宗根本傳承上師八十聖壽 「一生一咒」800萬遍上師心咒活動,從今年師尊的佛誕日正式啟動,請參加者到TBSN官網以下鏈接登記資料: 每持滿十萬遍上師心咒者,宗委會將把名單呈給師尊加持。每持滿一百萬遍者,將列名護摩法會功德主,資料請師尊主壇護摩法會時下護摩爐。