Merahnya Kurukulla, Merahnya Semangat Kebangsaan
Apihoma Bhagavati Kurukulla dan Refleksi Kemerdekaan Indonesia
Liputan: Pdt. Hendrik
Nuansa Kebersamaan di Vihara Satya Buddha Purnama
Minggu, 17 Agustus 2025, suasana di Vihara Satya Buddha Purnama terasa berbeda dari biasanya. Bendera merah putih berkibar gagah, berpadu dengan ornamen merah keemasan khas perayaan Tantrayana. Ratusan umat hadir dengan pakaian serba merah, menciptakan atmosfer penuh semangat dan kebersamaan.
Hari itu, Upacara Apihoma Bhagavati Kurukulla yang dipimpin oleh Acarya Lian Zu dilaksanakan bersamaan dengan peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI. Yang lebih Istimewa Adalah pada hari itu ada pemberkatan pernikahan di Vihra aSatya Buddha Purnama, Medan. Hal ini menjadi pengingat akan pentingnya keluarga sebagai fondasi kehidupan. Lantunan lagu “Hari Merdeka” bergema sebagai wujud suka cita untuk Bangsa Indonesia dan doa untuk keluarga yang menyatu dalam satu upacara, memperlihatkan bahwa spiritualitas dan rasa kebangsaan berjalan beriringan.
Mengenal Bhagavati Kurukulla
Bhagavati Kurukulla mungkin belum begitu dikenal luas. Dalam tradisi Tantrayana, ia adalah sosok penting yang dipandang sebagai dewi cinta, meski maknanya jauh melampaui cinta duniawi.
Acarya Lian Zu menjelaskan bahwa Kurukulla adalah manifestasi dari kebijaksanaan Buddha Amitabha dan aktivitas welas asih Tara Merah. Sosoknya digambarkan berkulit merah, memiliki empat lengan, dan memegang dharmayudam, salah satunya berupa anak panah bunga. Semua itu menyimbolkan kekuatan cinta kasih yang mampu menundukkan hati tanpa kekerasan.
“Kurukulla bukanlah sosok yang menaklukkan dengan pedang, tetapi dengan senyum dan kelembutan. Ia mengajarkan bahwa daya tarik sejati lahir dari cinta kasih dan ketulusan,” jelas Acarya.
Akar Sejarah dari India
Asal mula Kurukulla dapat ditelusuri dari India, di mana ia dikenal sebagai Dewi Cinta. Salah satu kisah terkenal menceritakan seorang selir kerajaan yang ingin merebut kembali cinta sang raja. Ia mengutus pelayan mencari ramuan penarik cinta, hingga bertemu dengan sosok gadis berusia enam belas tahun berkulit merah menyala, yaitu Kurukulla.
Gadis itu memberikan ramuan ajaib, namun ramuan tersebut justru jatuh ke sungai dan termakan oleh Pangeran Naga. Akibatnya, bukan sang raja, melainkan Pangeran Naga yang jatuh cinta pada selir itu.
Ketika sang raja mengetahui kekuatan Kurukulla, ia tidak merasa terancam. Sebaliknya, ia bersujud dan memohon menjadi murid. Berkat bimbingan Kurukulla, raja itu mampu menaklukkan seluruh India tanpa peperangan, melainkan dengan senyuman penuh wibawa.
Pesan yang terkandung jelas: kebijaksanaan dan cinta kasih jauh lebih kuat daripada kekerasan. Ajaran ini tetap relevan hingga hari ini, bahkan dalam kehidupan bangsa modern.
Energi yang Hidup di Zaman Kini
Apakah ajaran kuno ini masih memiliki tempat di era modern? Menurut Dharmaraja Lian Sheng, energi spiritual Kurukulla tetap hidup sepanjang zaman.
Ia mencontohkan tokoh dunia seperti Andy Lau, Michael Jackson, hingga Jay Chou. Daya tarik dan pesona mereka disebut sebagai manifestasi energi Kurukulla, kharisma yang bukan hanya berasal dari penampilan, tetapi dari kekuatan batin yang mampu menyentuh hati banyak orang.
Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Tantrayana bukanlah warisan usang, melainkan ajaran yang terus hadir dalam beragam wujud: seni, musik, hingga budaya populer.
Lebih dari Ritual Belaka
Meski demikian, Acarya Lian Zu menegaskan bahwa praktik Tantrayana tidak boleh berhenti pada ritual semata. Mantra, mudra, dan visualisasi hanyalah sarana. Inti yang sesungguhnya adalah pemahaman.
Mantra Bhagavati Kurukulla, misalnya, bukan sekadar bacaan, melainkan sarat makna. Warna merah yang menyertainya adalah simbol cinta kasih dan daya tarik positif. Prinsip ajaran Buddha Ehipassiko yaitu datang, melihat, dan membuktikan sendiri menekankan pentingnya pengalaman langsung.
Dalam konteks ini, Api Homa Kurukulla tidak semata-mata memohon kekuatan eksternal. Api yang menyala menjadi perlambang pembakaran ego, nafsu, dan ketidakikhlasan. Melalui pengucapan mantra dengan penuh penghayatan, umat diajak untuk membangkitkan cinta kasih, welas asih, dan daya tarik positif dari dalam dirinya.
“Seorang praktisi sejati tidak sekadar mengulang doa, tetapi menyelami makna di baliknya. Spiritualitas sejati adalah perubahan dari dalam,” tegas Acarya.
Merahnya Kurukulla, Merahnya Indonesia
Dalam perayaan kemerdekaan ini, warna merah yang menjadi ciri khas Kurukulla seolah menyatu dengan merah putih Sang Saka. Bagi umat yang hadir, hal itu bukan kebetulan. Merah Kurukulla melambangkan cinta kasih yang menghangatkan, sementara merah bendera melambangkan semangat perjuangan bangsa.
Pesan yang hadir begitu jelas: membangun bangsa tidak hanya membutuhkan kekuatan politik dan fisik, tetapi juga kekuatan hati, cinta kasih, persatuan, dan kebijaksanaan.
Jalan Seimbang: Spiritualitas dan Nasionalisme
Upacara Apihoma Bhagavati Kurukulla di Vihara Satya Buddha Purnama menjadi gambaran nyata bahwa spiritualitas dapat berpadu harmonis dengan nasionalisme. Doa yang dipanjatkan tidak hanya untuk keharmonisan rumah tangga, tetapi juga untuk kemajuan bangsa.
Bagi generasi sekarang, ajaran ini memberi teladan bahwa cinta kasih bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang sesungguhnya. Bahwa keberanian tidak selalu ditunjukkan dengan peperangan, melainkan dengan senyum, ketulusan, dan kebijaksanaan.
Seperti halnya Kurukulla yang menaklukkan dengan pesona, bangsa Indonesia pun diingatkan untuk menghadapi tantangan zaman dengan semangat merah putih yang berpadu dengan cinta kasih dan persatuan yang tak tergoyahkan.