Bab 1. Bag 8.2. Sebab Pengajaran ; Bag 9.1. Yang Dikatakan Anuttarayogatantra ; Bag 10.1. Yang Dikatakan Tantra
Ulasan Risalah Agung Tahapan Jalan Tantrayana
- Sngagsrim Chenmo -
Oleh Dharmaraja Lian-sheng Sheng-yen Lu
29 Juli 1994
Bab 1. Bag 8.2. Sebab Pengajaran ; Bag 9.1. Yang Dikatakan Anuttarayogatantra ; Bag 10.1. Yang Dikatakan Tantra
Hari ini kita melanjutkan pengulasan ‘Risalah Agung Tahapan Jalan Tantrayana’ ( Sngagsrim Chenmo / Mi-zong Dao Ci-di Guang-lun /密宗道次第廣論 ) : Bagian 8.2. Sebab Pengajaran ; Bagian 9.1. Yang Dikatakan Anuttarayogatantra dan bagian 10.1. Yang Dikatakan Tantra.
Kalimat dalam bagian ini sangat panjang, saya telah membacanya dari awal sampai akhir. Dulu pertama kali membaca bagian ini , susunan kalimatnya sungguh sukar dipahami . Entah apakah kalian telah membacanya ? Siapa yang telah membacanya ? Halaman 16 hingga 17, saya sendiri tidak mengerti, apalagi orang yang tidak memahami Buddhisme. Bahkan orang yang telah sangat mendalam dalam pembelajaran Buddhisme juga tidak tentu dapat memahami kalimat dalam bagian ini. Dulu pada Risalah Agung Tahapan Jalan Tantrayana saya menuliskan dua kata : “Ha ! Ha ! “ ( Mahaguru dan hadirin tertawa ) Tidak mengerti jadi hanya bisa menulis : “Ha ! Ha !”
Sekarang saya bisa memahaminya. Masih lumayan, meski bukan sekali membacanya langsung mengerti, bagian ini sedang membahas perihal sunyata dan upaya kausalya, melanjutkan bagian sebelumnya. Namun yang dibahas kali ini berbeda, saya akan menjelaskannya melalui perumpamaan.
Ini juga bukan perumpamaan khusus. Anda semua tahu kisah kuno mengenai ‘ Da-yu ( Yu Yang Agung ) Mengendalikan Banjir’ , ayah dari Da-yu juga pengendali banjir. Namun teknik yang digunakannya adalah menghentikan air, ia akan menghampiri arah datangnya banjir. Sedangkan Da-yu berbeda, ia menggunakan teknik membuka jalan, yaitu dari mana banjir datang, maka ia akan membuat seruas jalan untuk mengalirkannya ke tempat yang lebih sesuai, menuntun aliran banjir tersebut.
Kita mengetahui bahwa dalam kisah ‘Da-yu Mengendalikan Banjir’ terdapat istilah : “Tiga kali melewati pintu rumah tanpa masuk ke dalamnya.” , ada sebuah ungkapan : “Berubah pikiran secara mendadak, “Mengapa saat Da-yu berusaha mengendalikan banjir , tiga kali melewati rumah sendiri namun ia enggan untuk masuk ?” tentu sudah banyak yang tahu jawabannya.
Sepertinya pertanyaan ini pernah ditanyakan oleh Gurudara. Jawaban untuk ungkapan ‘Mendadak berubah pikiran’ adalah : ‘Da-yu lupa membawa kunci rumah.’ ( Mahaguru tertawa ) Sesungguhnya mana ada orang yang sengaja tiga kali di depan pintu rumah namun hanya melewatinya ? Ternyata dia lupa membawa kuni. Saya kurang sependapat dengan jawaban tersebut. Masih ada jawaban lainnya, yaitu : “Da-yu sedang bertengkar dengan istrinya.” ( Mahaguru dan para umat tertawa ) , oleh karena itulah tiga kali dia hanya melewati pintu rumah tanpa memasukinya.
Dia sudah sangat emosi, untuk apa masuk ke rumah berjumpa dengan istri ? Benar tidak ? kehidupan pernikahan antara suami istri sukar diprediksikan.
Saya pernah mendengar ada yang setelah mencapai usia sembilan puluh tahun baru bercerai ; Padahal dulunya baik-baik saja, ternyata saat gigi sudah tanggal mereka baru bercerai. Mengapa demikian ? Afinitas telah berakhir, tiada sebab lainnya.
Mengapa untuk mengulas bagian ini saya mengangkat kisah Da-yu mengendalikan banjir ? Sebabnya adalah adanya teknik ‘penghentian’ dan teknik ‘membukakan jalan’. Saya menggunakannya untuk mengumpamakan metode bhavana. Dalam Hinayana menitik beratkan bhavana menghindari keduniawian, menggunakan metode untuk sepenuhnya memutus nafsu keinginan, supaya nafsu keinginan sirna, ini adalah teknik ‘penghentian’. Saat nafsu keinginan tiba, ia akan membendungnya.
Teknik Da-yu sangat baik ! Saat banjir tiba, saat nafsu keinginan tiba, ia ‘membukakan jalan’, diarahkan ke tempat yang lebih tepat, dengan teknik ‘membuka jalan’ mentransformasikannya, ditransformasikan hingga bencanapun sirna. Teknik ‘membuka jalan’ ini adalah upaya kausalya dalam Tantrayana.
Oleh karena itu dalam bhavana juga ada teknik ‘penghentian’, seketika Anda memutusnya, inilah teknik ‘penghentian’ ; Sedangkan penggunaan teknik ‘membuka jalan’ adalah upaya kausalya, secara bertahap menuntun Anda menapaki jalan benar, jalan yang mengarah pada Kebuddhaan, inilah teknik ‘membuka jalan’, inilah upaya dalam Tantrayana.
Saya menggunakan perumpamaan ini, namun tentu saja masih belum menjelaskan poin utamanya. Yang dibahas di bagian ini adalah sunyata dan upaya. Saya akan bacakan satu kalimat :
“ Pembabaran penuturan jelas akan varga permulaan dari Tantra Layar Vajra.”, susunan kalimatnya tidak enak dibaca dan sangat sukar dipahami ! Demikianlah ( hasil terjemahan risalah ini ). “Pembabaran penuturan jelas”, mengapa harus dikatakan sebagai “Pembabaran penuturan ?” Pembabaran cukup katakan pembabaran ! Penuturan cukup katakan penuturan ! Pembabaran adalah penuturan, dengan demikian kalimat tersebut berati : “Pembabaran pembabaran jelas” atau “Penuturan penuturan jelas”, dia terlalu berlebihan dalam menggunakan kata, sebenarnya cukup gunakan kata ‘Pembabaran’. Tata kalimatnya sungguh buruk.
“Apabila sunya adalah upaya, maka tidak akan mencapai Kebuddhaan.” Apabila dikatakan bahwa sunyata dan upaya kausalya adalah sama, maka tidak mungkin mencapai Kebuddhaan. Mengapa ? Sebab sunya adalah sunya. Apabila upaya adalah sunyata, maka tidak dapat mencapai Kebuddhaan, sebab dia tidak muncul, tiada Dharma, tiada Dharma yang dapat direalisasi, oleh karena itu tidak dapat mencapai Kebuddhaan.
“Tanpa hetu, maka tiada phala, oleh karena itulah upaya bukan sunya.” Sangat sederhana, upaya kausalya adalah ‘hetu’ ( sebab ) dan sunyata adalah ‘phala’ ( akibat ). Tanpa sebab bagaimana mungkin ada akibat ? Oleh karena itu untuk mencapai Kebuddhaan memerlukan upaya kausalya, jika tidak, maka tidak akan mencapai Kebuddhaan. Di sini dikatakan dengan sangat jelas “Oleh karena itu upaya bukan sunya” , upaya kausalya bukanlah sunyata.
“Berbagai pandangan menimbulkan kekeliruan dan mengejar pandangan ego, demi menghentikan kemelekatan pada ego, maka Para Buddha membabarkan sunya.” Di sini diungkapkan mengapa Buddha membabarkan sunyata ? pasti ada sebabnya. “Oleh karena itu mandala-cakra dan vinaya merupakan upaya kausalya, (kemudian ) dari Yoga Kebanggan Buddha, maka Kebuddhaan tidaklah jauh. Buddha memiliki tiga puluh dua atribut utama dan delapan puluh tanda-tanda kecil keagungan, semua demi memudahkan untuk bhavana, sebuah upaya kausalya untuk mendeskripsikan wujud Buddha.”
Kita tahu bahwa Tathagata memiliki tiga puluh dua atribut keagungan dan delapan puluh tanda-tanda kecil lainnya, mengapa demikian ? Ini demi memudahkan Anda untuk menekuni bhavana. Tantrayana menitikberatkan visualisasi, Anda perlu memvisualisasikan Buddha, visualisasikan alis Buddha melengkung bagaikan bulan sabit, hidung nampak penuh namun tidak terlihat lubang hidungnya, ada atribut keagungan yang disebut ‘Tidak nampak lubang hidung’.
Giginya harus empat puluh butir, nanti pulang coba Anda hitung apakah gigi Anda genap empat puluh ? Dari sisi ini sampai situ, atas bawah dijumlahkan, atas ada dua puluh, bawah juga dua puluh, kurang satu saja Anda tidak dapat menjadi Buddha. Celaka ! Saya punya karang gigi ! ( Mahaguru tertawa ) Sebenarnya sekarang saya sudah tidak mempunyai karang gigi, saya mengatakan karang gigi adalah persoalan dahulu, ibu saya yang paling tahu. Saya tidak pernah ke dokter gigi, sebab merasa untuk apa ke sana ? Saat sakit gigi baru pergi ke sana.
Dulu di Taiwan tidak dikenal yang namanya ‘scaling’ ( pembersihan karang gigi ). Hingga saat saya mencapai usia tiga puluh tahun lebih, Wah ! usia tiga puluh delapan tahun saya tiba di Amerika, sebelumnya di Taiwan saya tidak pernah mengenal apa itu scaling, tiba di Amerika ddokter gigi mendadak mengatakan saya perlu melakukan scaling, dia menanyai saya sudah berapa kali saya melakukan scaling ? Saya menggoyangkan telapak tangan , dia salah sangka : “Lima kali ?” , sebenarnya maksud saya adalah “Belum pernah sama sekali.”. Demikianlah di Amerika , demi kesehatan gigi, tiap setengah tahun sekali perlu dilakukan scaling.
Dulu semasa kecil, dikarenakan serangan udara dari Amerika, di masa pendudukan Jepang di Taiwan, tidak ada susu untuk diminum. Ibu saya menceritakan, menggunakan ‘Gao’, orang Taiwan menyebutnya ‘Gao’, terbuat dari beras, kemudian ditambah sedikit air dan digiling. Mungkin sebaiknya tidak saya ceritakan.
Oleh karena itu sejak kecil gigi sudah rusak, bahkan sudah dicabut beberapa, celaka ! Begitu dicabut tidak akan mencapai Kebuddhaan ! Bukankah gigi Buddha genap empat puluh butir ! Bahkan harus sangat putih dan halus, bagaikan kerang dan saat tertawa nampak indah. Dalam daftar tiga puluh dua tanda keagungan ada tercantum mengenai empat puluh butir gigi. Sepertinya tiba di usia lima atau enam puluhan banyak yang sudah mengenakan gigi palsu.
Saya ingat dulu Guru Bahasa saya yang berasal dari Sichuan, saat sedang mengajar, apabila dia bersin, KO ! Gigi palsunya terpelanting jauh sekali ! Saat itu saya masih kecil, tidak mengerti benda apa yang terpelanting dari mulutnya ? Apa yang terjadi ? Apakah dia mengajar sambil makan permen? Ternyata bukan ! Rupanya ia bersin dan gigi palsunya terpelanting keluar.
Sepertinya tentu saja Hyang Tathagata, Sakyamuni Buddha tidak mempunyai gigi palsu. Namun kabarnya kebersihan di India sangat kurang, juga sangat jarang ada dokter gigi, tapi di jalanan ada yang menjual gigi palsu. Di sana di pinggir jalan digelar kios yang menjual banyak sekali gigi palsu, Anda coba satu persatu untuk dipasang. ( Tertawa )
Begitu menemukan yang sesuai, segera dibeli. Ternyata di India ada yang menjual gigi palsu di pinggir jalan, bahkan bentuk apapun juga ada. Tiap orang di sana memilih dan mencobanya.
Buddha memiliki tiga puluh dua atribut keagungan , tidak diperbolehkan ada gigi palsu, tidak boleh ada karang gigi, empat puluh butir gigi harus dalam kondisi sangat baik, sangat rapi. Selain itu ada satu atribut yang sangat unik, yaitu : ‘prabhutatanujihvah’ ( Lidah yang panjang dan luas ) , seperti dalam Amitabha Sutra : “Tathagata menampilkan lidah yang sangat panjang dan luas, menutupi trisahasra mahasahasra lokadhatu.” Lidahnya menjulur keluar mampu menutupi trisahasra mahasahasra lokadhatu, penggambaran semacam ini sungguh luar biasa ; Seluruh dunia , seantero semesta raya, trisahasra mahasahasra lokadhatu tertutupi lidah. Lidah bisa menutupi wajah sendiri , ini disebut ‘Lidah yang sangat panjang dan luas’, sepertinya kita tidak bisa menjadi Buddha, sebab lidah Anda harus menjulur keluar, bahkan untuk mencapai ujung hidung saja sudah sangat sukar ; Beliau menjulurkan lidah dan mampu menutupi wajahnya, di Taiwan ada ungkapan : ‘Menutupi kepala dan wajah’ ; Ini adalah salah satu dari tiga puluh dua atribut keagungan.
Buddha masih mempunyai lagi delapan puluh tanda kecil. Satu di antaranya adalah : Begitu Beliau berdiri, semua orang yang menyaksikannya akan terpesona, inilah yang saat ini disebut sebagai ‘Nasib berbenturan dengan Tao-hua ( Banyak persoalan asmara ) ’ ( tertawa ) Tiap orang yang melihat-Nya akan terpesona, mana tahan ! Apalagi jika bukan ‘Nasib penuh Tao-hua ( Banyak disukai lawan jenis )’ ?
Namun sebenarnya apakah tujuan dari delapan puluh tanda-tanda keagungan, mengapa ada atribut semacam ini ? Di sini dikatakan : “Semua itu demi memudahkan bhavana, sebuah upaya kausalya untuk mendeskripsikan wujud Buddha”. Supaya Anda dapat menggunakannya untuk bhavana, bhavana yang menggunakan tiga puluh dua atribut keagungan Buddha.
Tantrayana menitikberatkan visualisasi, dalam Tantrayana harus memvisualisasikan wujud Buddha ; Dari cakra candra, di tengah cakra candra terdapat bijaksara, dari bijaksara muncul yidam, inilah Buddha. Kemudian Anda harus menyesuaikan dengan tiga puluh dua atribut utama dan delapan puluh tanda-tanda kecil keagungan Buddha, ini semua untuk memudahkan Anda dalam bhavana menggunakan wujud Buddha.
Apabila Anda tidak dapat memvisualisasikannya, lebih baik tidak usah banyak bicara lagi, benar tidak ?! Sebab apabila Anda tidak sanggup memvisualisasikan wujud Buddha, maka pasti yang muncul adalah rupa keburukan. Anda harus memvisualisasikan rupa yang agung, seperti tiga puluh dua tanda utama dan delapan puluh tanda kecil, visualisasi ini akan membangkitkan sukacita. Bahkan dapat memurnikan batin, inilah maksud dari demi memudahkan bhavana. Metode ini adalah upaya kausalya.
Sesungguhnya apakah wujud Buddha adalah demikian ? Wujud yang sejati adalah sunyata. Apabila Anda ingin mempelajari tiga puluh dua atribut utama keagungan dengan lebih detail , Anda dapat menyimaknya dalam Yogacara-bhumi-sastra.
Untuk bagian ini, saya perlu mengulasnya lebih lanjut. Tentu saja ada dinyatakan perlu menekuni sunyata. Mengapa Buddha mengatakan perlu untuk menekuni sunyata ? Di sini ada dibahas. “Untuk apa membabarkan sunyata ?” Kalimat ini ada pada halaman enam belas, baris kesembilan. “Inilah yang disabdakan oleh Guru Prajna Para Dewa, sungguh baik. Untuk apa dibabarkan sunyata ? Demi yang dari anatman timbul pandangan salah, dan demi yang mengejar pandangan ego, yang melekat pada ego, demi menyingkirkan dua jenis kemelekatan tersebut, maka dibabarkan kesunyataan anatman.”
Mengapa Buddha membabarkan sunyata ? Sebab sadhaka pada umumnya melekat pada dua pandangan, yang terutama adalah dalam fase belajar, kita masih mempunyai kemelekatan yang sangat berat pada ego . Apabila kemelekatan pada ego masih sangat berat, maka dalam penekunan Buddhisme tidak akan memperoleh keberhasilan. Demi menghancurkan kemelekatan pada ego maka Tathagata terlebih dahulu harus membabarkan sunyata.
Namun apabila sepenuhnya mengejar sunyata, tanpa menekuni upaya kausalya, Anda akan mudah terjerumus pada kekosongan absolut, Anda akan terjebak dalam kehampaan tanpa batas.
Coba Anda baca halaman tujuh belas , baris kelima dan kalimat keempat, di sini tertulis : “Apabila hanya menekuni sunya yang terpisah dari upaya, maka akan muncul kondisi rintangan kekosongan tanpa batas.” Maksudnya adalah apabila hanya menekuni penghindaran, hanya menekuni sunya, Anda akan terlahir dalam kekosongan tanpa batas atau kekosongan absolut.
Dua kalimat ini telah mengungkapkannya dengan sangat jelas, “Perlu dibabarkan sunya anatman dan perlu dibabarkan upaya kausalya Buddha Dharma. Keduanya harus selaras, inilah yang tepat.” Di dalamnya ada Prajna yang tersembunyi, yaitu ‘Penekunan upaya tidak boleh terpisah dari kesunyataan anatman’. Sedangkan penekunan kesunyataan anatman juga harus selaras dengan upaya, keduanya ini memang tidak boleh dipisahkan.
Keseluruhan bagian ini sebagian besar membahas perihal sunyata dan upaya kausalya, tentu saja juga didiskusikan. Saya beri sebuah contoh, apa itu sunyata ? Sunyata adalah Buddhata, Tathagata, Tathata, Kebenaran, Kesadaran Semesta. Sunyata kontras dengan abhijna ( daya spiritual ) .
Apa itu abhijna ? Abhijna dapat dikatakan merupakan upaya kausalya ; Sunyata adalah Buddha ! Jadi apa itu abhijna ? Yaitu upaya dari Buddha ! Tanpa abhijna, maka Buddha tidak akan nampak jelas. Membutuhkan abhijna untuk menampilkan dengan jelas. Ini adalah contoh yang saya gunakan, supaya Anda dapat memahaminya.
Apa itu Buddha ? Buddha adalah sunyata ; Apa itu abhijna ? Abhijna adalah upaya kausalya Tathagata. Demi menuntun semua makhluk Beliau perlu menampilkan daya abhijna, dengan demikian barulah dapat menuntun semua melebur dalam Kesunyataan. Ini adalah cara saya menjelaskannya, sebab di dalam sini terdapat banyak sekali diskusi.
Apabila ingin mencapai paripurna yang sesungguhnya, maka sunyata dan upaya harus manunggal. Dengan upaya sebagai ‘hetu’ dan sunyata sebagai ‘phala’, ini adalah yang paling mendasar ; Dengan adanya hetu, barulah ada phala, apabila tanpa upaya sebagai hetu, maka tidak akan mencapai Kebuddhaan, tidak akan ada phala.
Kalimat yang banyak ini juga tidak mudah untuk dipahami. Di dalam sini ada beberapa penjelasan yang perlu diulas lebih lanjut untuk Anda, ada Devata Yoga, kelak akan saya jelaskan pada Anda , sebab Devata Yoga merupakan penekunan rupakaya. Di sini ada Devata Yoga dan Mandala-cakra. Penekunan Mandala-cakra adalah Cakra Mantra. Ini merupakan salah satu metode upaya kausalya dalam Tantrayana yang sangat istimewa, disebut : “Penekunan Mandala-cakra”
Di dalam sini telah dijelaskan dengan jelas, dalam halaman enam belas baris terakhir, “Dalam batin saat ini membabarkan atribut tampil sebagai upaya kausalya dari Deva-cakra, mencapai Prajna Sunyata, saling tidak terpisahkan.” Maksudnya adalah tidak terpisahkan. Yaitu, secara wujud dan atribut merupakan upaya kausalya berupa Deva-cakra, yaitu Devata-yoga, tidak terpisahkan dengan pencapaian Prajna Sunyata ; Dengan kata lain antara sunyata dan upaya kausalya adalah tak terpisahkan. Melalui pengulasan ini , maka bagian ini dapat dipahami dengan sangat jelas.
Om Mani Padme Hum.
29 Juli 1994