Bab 1 Bag 3.3 dan 4.1
Bag 3.3 Perbedaan Yana Dibagi Menjadi Dua ; 4.1. Pendirian Hinayana
Ulasan Risalah Agung Tahapan Jalan Tantrayana
- Sngagsrim Chenmo -
Oleh Dharmaraja Lian-sheng Sheng-yen Lu
19 Juli 1994
( Ket penerjemah : Tiap kalimat kutipan risalah tetap mempertahankan bentuk asli dari terjemahan Buku Risalah Asli Bahasa Mandarin, pada sesi sebelumnya telah diberitahukan bahwa hasil penerjemahan risalah ini ke dalam Bahasa Mandarin tergolong buruk )
Hari ini kita kembali mengulas ‘Risalah Agung Tahapan Jalan Tantrayana’ ( Sngagsrim Chenmo / Mi-zong Dao Ci-di Guang-lun /密宗道次第廣論 ) , sampai pada : Bagian 3.3. Perbedaan Tubuh Yana Dibagi Menjadi Dua dan Bag 4.1. Pendirian Hinayana.
Bagian ini sangat panjang, namun di dalamnya terdapat argumen. ( Menurut risalah ) Hinayana : “Tidak ingin menanggung aktivitas memberi manfaat pada insan lain, bhavana hanya demi pembebasan dan keuntungan diri sendiri, mampu merealisasi hetu pembebasan, merupakan realisasi Prajna makna Anatman.” Kalimat ini merupakan intinya.
Mengenai memberi manfaat pada insan lain, yang dapat membantu insan lain, ia tidak mau melakukannya. Sebab ia tidak suka untuk menyesuaikan diri dengan para insan, tidak ingin mengemban aktivitas Tathagata, ia tidak ingin melakukan itu semua. Seperti ungkapan Taiwan : “Satu jenis beras menghidupi ratusan orang.” , ini merupakan salah satu dari berbagai sifat para insan, ada orang yang memang menyukai bhavana Hinayana.
Ia mengatakan bahwa menuntun insan terlampau sukar, ia tidak suka ; Ia lebih menyukai menekuni bhavana sendiri, inilah yang dimaksud oleh kalimat : “Tidak ingin menanggung aktivitas memberi manfaat pada insan lain.” Ada orang yang mengatakan : “Saya tidak peduli orang lain mau bagaimana, saya hanya menekuni bhavana untuk diri sendiri.” Tidak rela untuk mengemban aktivitas menuntun para insan, tidak ingin dan tidak suka bersama-sama dengan khalayak ramai.
Ada banyak orang yang memiliki sifat demikian : Menyukai hidup kesendirian, tidak suka hidup bersama khalayak ramai, tidak ingin berupaya untuk menolong semua makhluk. Ia hanya mengemban aktivitas diri sendiri, hanya mengemban karya bagi diri sendiri, hanya rela menekuni bhavana sendiri demi mencapai realisasi sendiri, tidak memperdulikan urusan orang lain, tidak peduli akan segalanya.
Namun, ia juga memiliki alasan dari pemikirannya sendiri, apakah Anda sekalipun sanggup peduli pada orang lain ? Sesungguhnya tidak ! Banyak orang yang hanya peduli pada diri sendiri, atau hanya peduli pada keluarga sendiri saja. Saat ayah atau ibu sendiri jatuh sakit, langsung panik bukan main ! “Saya harus terbang pulang untuk menjenguknya !” Sangat panik saat orangtua jatuh sakit, mengapa ? Sebab memiliki ikatan erat. Namun apabila tiba-tiba Anda mendengar seseorang di sebuah rumah sakit menderita kanker darah, Anda sedikitpun tidak merasa kasihan ; Anda tidak merasa kasihan sebab Anda merasa tidak punya hubungan dengan mereka, Anda bahkan tidak mengenal mereka, sehingga dalam hati Anda tidak timbul rasa empati, juga tidak ingin memberikan perhatian khusus pada mereka.
Oleh karena itu, dalam pertunjukan wayang potehi di Taiwan sering dikatakan : “ Mati ? Pin-dao jangan mati !” Pin-dao tidak boleh mati, kalau persoalan orang lain , dia tidak peduli. “Biar Dao-you yang mati, jangan Pin-dao” apa maksudnya ? Yaitu apabila orang lain yang mati, ini tidak ada hubungannya dengan saya, lebih baik orang lain yang mati. Tapi jangan sampai Pin-dao yang mati ! Yang dimaksud dengan Pin-dao adalah ‘aku’, “Aku tidak mau mati !” Pemikiran seperti apakah ini ? Kita menyebutnya sifat egois.
Oleh karena itu, bhavana dilakukan hanya demi diri sendiri, hanya peduli pada diri sendiri, memang ada yang demikian ; Ia menyukai bhavana pribadi, ia tidak peduli pada orang lain ! Namun sesungguhnya memang sifat manusia ada yang demikian. Anda bertanya : “Ada apa dengan orangtuamu ? Mengapa Anda sangat panik ?” ; “Ada apa dengan saudaramu ? Anda kelihatan sangat risau !” Ada apa dengan istri atau orang terdekatnya, wah ! Kelihatan sangat risau ! Sangat risau ! Ada apa dengan putra putrinya, ia kelihatan sangat panik ! Begitu mendengar kabar buruk mengenai putra putri orang lain, ia akan mengatakan : “Apa urusan saya ?” Memang ada sifat demikian !
Anda jangan meremehkan sikap yang demikian , ada kalanya banyak siswa di kantor korespondensi mengatakan : “Ah ! Surat ini sangat penting ! Yang ini sekujur tubuhnya penuh sakit penyakit ! Sangat parah ! Ah ini mengalami kemalangan yang sangat parah !” , “Kita harus segera membereskannya, coba lihat apakah dia sudah bersarana ?” , begitu dilihat ternyata pengirimnya bukan siswa sarana, “Ah ! Tidak usah dipedulikan! “ mulailah muncul diskriminasi.
Mulai mendiskriminasi karena yang telah bersarana adalah Saudara Sedharma, merekalah yang patut diperhatikan, sebab mereka adalah siswa sarana. “Ah ! Bukan kami mendiskriminasi, ia jatuh sakit, tapi dia tidak bersarana, biar dia mengantri, itu salah dia karena tidak bersarana. Andai dia telah bersarana , kami akan segera membantunya.” Perilaku ini tidak sesuai dengan semboyan : “Mengembangkan belas kasih agung bahkan pada yang tidak berafinitas sekalipun.”
Ada kalanya kita semua memakai pertimbangan pribadi, “Ini lebih penting, biar Mahaguru mengurusi yang ini dulu.” Bagaimana mungkin saya tidak tahu bahwa itu adalah urusan ibu Anda ? Itu ibu Anda, namun apabila yang punya masalah adalah ibu orang lain, maka Anda tidak akan bertindak cepat. Pertimbangan atas ego sendiri, segera mengambilnya dan mengatakan : “Mahaguru, dahulukan yang ini.” Tidak mungkin Anda mengajukan milik orang yang tidak Anda kenal.
Ada juga siswa yang mengatakan : “Aduh ! Menulis surat kepada Mahaguru , baru bisa menerima balasannya sebulan bahkan dua bulan kemudian, bahkan harus menunggu ia kembali dari perjalanan pembabaran Dharma, menunggu surat itu ditangani harus tiga sampai empat bulan baru menerima surat balasan. Tapi ada cara lain, kirimkan pada Acarya lain, beri dua angpao, yang satu untuk Mahaguru dan yang satunya untuk Acarya tersebut.” Saya bukan sedang membicarakan Acarya tertentu, saya tidak tahu hal demikian ini ada atau tidak, namun dulu pernah terjadi demikian. Saya mengatakan yang lampau, bukan saat ini. Satu bagian untuk dia, dan satu bagian untuk Mahaguru.
Setelah dia menerima, tentu saja dia akan terlebih dahulu mengambilnya, kemudian dia akan mengatakan : “Mahaguru, bereskan yang ini dulu !” Kemudian dia mengambilnya untuk dibungkus, mengambil sertifikat bersarana, mengambil kertas Hu di rak Hu, dia membereskannya terlebih dahulu dan dia mengirimkan balasannya.
Si penerima akan mengatakan : “Wah ! Yang ini cepat sekali !” Selanjutnya kita pakai cara ini saja, kirimkan pada Acarya tersebut ! Ia bisa langsung menghadap untuk menyampaikannya pada Mahaguru dan urusan kita bisa segera terselesaikan. Inilah yang sering kita sebut sebagai : Ada yang demi umum, ada yang demi pribadi, ada yang mendiskriminasi, ada yang tidak mendiskriminasi, di sinilah perbedaannya.
Kemudian , “Pendirian Hinayana”, dikarenakan ia tidak ingin mengemban tugas untuk menanggung rintangan karma para insan, tidak ingin menyelamatkan para insan, hanya rela menekuni bhavana demi pembebasan diri sendiri, inilah “Pendirian Hinayana”.
“Tidak ingin menanggung aktivitas memberi manfaat pada insan lain.” , “Bhavana hanya demi pembebasan dan keuntungan diri sendiri” mengutamakan pembebasan diri sendiri. Terlebih dahulu saya membebaskan diri dari kerisauan batin, mengatasi kelahiran dan kematian diri sendiri. Terlebih dahulu saya menekuni bhavana demi diri sendiri. Terlebih dahulu memberi manfaat pada diri sendiri. “Mampu merealisasi hetu pembebasan.” Sebab Anda harus berusaha mencapai pembebasan ! Pembebasan adalah samyak-hetu, merupakan sebab akibat yang sangat tepat. “Merupakan realisasi Prajna makna Anatman ( Tanpa Aku ) .” Dari sini merealisasi ‘Anatman’, Kebenaran ini adalah yang tertinggi, merupakan Prajna Tertinggi ; Oleh karena inilah dua ciri khas utama dari ‘Pendirian Hinayana’.
Ini tidak ada hubungannya dengan Mahayana, mengapa Tantrayana juga digolongkan sebagai Mahayana ? Yang terutama adalah karena dalam Tantra terdapat Catur-apramana-citta ( Empat Batin Tak Terhingga ) ; Apa itu ‘Maitri-karuna-mudita dan upeksha’ ? Memberikan kebahagiaan pada para insan . Mengatasi kerisauan para insan. Selamanya mengamalkannya dengan penuh sukacita. Mampu merelakan waktu dan nyawa diri sendiri.
Dalam Hinayana, maitri yang terutama adalah memberikan kebahagiaan pada diri sendiri, yaitu supaya diri sendiri terbebas dari dukha, supaya diri sendiri terbebas dari kerisauan. Kemudian , tidak rela memberikan untuk orang lain, semua demi diri sendiri, inilah Hinayana.
Namun bhavana dalam Hinayana juga berasal dari ‘sila’ dan ‘samadhi’. Dalam risalah ini dikatakan : “Menekuni bhavana benar dengan bermitrakan jalan sila dan samadhi.” Maksudnya adalah menekuni ‘sila’ dan ‘samadhi’. Mulai dari penekunan vinaya atau sila , kemudian meraih ‘samadhi’. “Menekuni bhavana benar dengan bermitrakan jalan sila dan samadhi, oleh karena itu mampu mematahkan semua klesa ( kerisauan batin ) .” Dapat mematahkan semua klesa, inilah ‘Pendirian Hinayana.’
Berikutnya, kita buka halaman enam. Wah ! Sangat panjang, halaman enam dan tujuh penuh dengan tulisan !
Sebenarnya saat orang lain membacanya, merasa sangat sukar dipahami. Saya sendiri bisa memahaminya. Isinya adalah sedang berargumen. Apa yang dibahas ? Yaitu ‘Anatman’. Di dalamnya ada kalimat yang sangat jelas menunjukkan bahwa banyak Upadesacarya berpendapat : “Ini tidak dapat membebaskan dari kelahiran dan kematian.” , “Yang ini tidak dapat mencapai Pencerahan.” Demikianlah yang dikatakan oleh sebagian Upadesacarya.
Dalam ‘Madhyamakavatara’ dikatakan : “Anda berjumpa dengan Anatman-yoga-carya ( Pengajar Teori Anatman ), tidak dapat menembusi sifat-sifat seperti rupa, dikarenakan tidak mencapai svabhava, kondisi rupa bertransformasi melahirkan lobha dan lain sebagainya.”
Apa maksud kalimat ini ? Di India kuno, mereka menyebut Hinayana sebagai ‘Anatman-yoga-carya’ yang menekuni ‘Anatman’. Coba Anda renungkan, apabila Anda hendak menekuni ‘Anatman’, di dalamnya tiada kemelakatan pada keakuan. Karena tiada kemelekatan pada keakuan, maka apakah Anda masih bisa berdiri sendiri ? Di dalamnya terdapat kontradiksi. Hinayana berdiri pada Anatman, harus menekuni hingga realisasi ‘Anatman’ ; Bila Anatman yang ditekuni, maka apakah yang berdiri sendiri ? Bukankah ini berarti ‘Ada aku’ ? Oleh karena itu di dalamnya terdapat kontradiksi. Di dalam risalah ini ada beberapa Upadesacarya yang sedang berdebat.
Oleh karena itu dalam Madhyamakavatara ada dikatakan : “Anda berjumpa dengan Anatman-yoga-carya ( Pengajar Teori Anatman ), tidak dapat menembusi sifat-sifat seperti rupa, dikarenakan tidak mencapai svabhava, kondisi rupa bertransformasi melahirkan lobha dan lain sebagainya.” maksudnya adalah orang yang menekuni Anatman, mengetahui bahwa tiada aku yang dilekati, namun apabila tiada aku yang dilekati mengapa masih ada yang berdiri sendiri ? Di sinilah letak kontradiksinya. Sebenarnya apakah ‘Pendirian Hinayana’ ini ada kontradiksi ? Inilah yang mereka perdebatkan.
“Yang menjadi perlindungan Para Buddha , Pratyeka-buddha dan Sravaka hanya ada satu yaitu jalan pembebasan, selain itu tiada lagi.” Ini menjelaskan mengenai : “Menembusi bahwa dharma tiada berpribadi.” Merupakan : “Jalan pembebasan sejati Kedua Yana.” Juga dikatakan : “Bagi yang ingin menekuni bhumi Sravaka, hendaknya menekuni Prajna-paramita.” Maksudnya adalah, apabila ingin menekuni Sravaka-bhumi atau Hinayana, maka sesungguhnya harus menekuni Prajna-paramita, yaitu Prajna tiba di tepian. Apabila tidak demikian, maka tiada Prajna, hanya berhenti pada sila dan samadhi, tidak mencapai pembebasan melalui Prajna, tidak akan mampu mencapai tepian.
Di dalam juga telah dikatakan , tepatnya di dalam Nyanyian Ringkasan ada dikatakan : “Untuk mencapai keberhasilan Sravaka, Pratyeka-buddha dan Dharmaraja, apabila tidak melalui Ksanti, maka tidak akan dapat mencapai keberhasilan.” Oleh karena itu, sangat jelas.
Apabila Anda ingin mencapai keberhasilan Sravaka dalam Hinayana, Anda harus melalui Ksanti. Apa yang dimaksud dengan Ksanti di sini ? Ini adalah sebuah pencapaian. Saya sudah menjelaskan apakah itu Anuttpatika-dharma-ksanti, ini adalah sebuah pencapaian. Dapat dikatakan bahwa tingkatan ini telah memahami kemelekatan akan Dharma.
Apabila Anda tidak menekuni bhavana melalui metode ini, maka tidak akan mencapai keberhasilan. Oleh karena itu dalam risalah ini ada dikatakan, apabila Anda ingin meraih keberhasilan, ingin merealisasikan Kebenaran Anatman, maka Anda harus memahami Buddhata, harus memahami Kesunyataan.
Apabila Anda telah memahami Kesunyataan, maka dengan sendirinya batin Anda luas bagai angkasa, saat itulah dalam setiap kondisi Anda tetap selaras dengan Apramana-cita ( Batin luas tak terhingga ).
Dalam permulaan bhavana, meskipun Anda tidak rela mengemban aktivitas Tathagata, tidak rela menolong para insan, namun saat Anda telah mendekati realisasi Anatman, maka Anda telah memperluas Prajna Anda. Dan saat Prajna Anda telah terbuka, maka dengan sendirinya Anda akan menempuh tingkatan : ‘maitri-karuna-mudita-upeksha’ atau Catur-apramana-citta. Dengan demikian tetap saja semua harus melalui praktek ‘Prajna-paramita’.
Oleh karena itu, dimulai dari realisasi ‘Anatman’, mulai dari ‘Sravaka’, terus hingga jalan Bodhisattva, ini semua tidak dapat dikatakan tidak saling tembus. Sesungguhnya saling tembus. Ada yang menekuni mulai dari Hinayana, namun pada akhirnya juga pasti menempuh jalan Mahayana. Ada juga yang langsung menekuni dari Mahayana, namun dalam prosesnya ia juga harus menajalani kehidupan Hinayana.
Oleh karena itu sesungguhnya, sekalipun Anda menekuni Hinayana, di kemudian hari Anda juga pasti harus menempuh Mahayana ; Dan menekuni Mahayana juga tetap harus melalui jalan Hinayana.
Inilah ‘Anatman’ yang diperdebatkan dalam halaman enam.
Kemudian, pada halaman tujuh, mereka memperdebatkan ‘Anitya’ ( Ketidak kekalan ), dari anitya merealisasikan anatman . Kita mengetahui bahwa mengenai anitya ada sebuah kalimat dalam ’60 Nyaya-sastra’ : “Antara utpada ( kemunculan / kelahiran ) dan nirodha-marga ( jalan menuju pemadaman / kematian ) , dibabarkan demi kebutuhan, memahami utpada maka memahami nirodha, melalui pengetahuan akan nirodha maka diketahui sifat anitya ( ketidak kekalan ), dengan demikian dapat mencapai Samyak-dharma. Semua yang memahami afinitas utpada, terhindar dari kemelekatan akan utapa dan nirodha, merealisasi pandangan benar, mampu melampaui Tri-bhava-sagara ( Samudra Triloka / Samsara ).”
Bhavana Hinayana juga harus mulai dari pemahaman akan anitya, harus mengenali anitya, barulah dapat merealisasikan ‘Anatman’.
Saat ada yang lahir maka kita semua tahu bahwa dia kelak harus mati ; Ada lahir pasti ada mati. Mengetahui adanya kematian, maka dapat membuktikan anitya. Teori ini ada dalam bagian ini, ‘Memahami nirodha maka mengetahui anitya.’ Sebab telah mengetahui sifat ketidak kekalan, mengetahui bahwa segala fenomena tiada yang abadi. Dengan demikian dapat meraih Samyak-dharma, sebab Anda telah Tercerahkan bahwa semua makhluk tiada yang abadi, maka juga dapat mencapai Samyak-dharma.
Seperti halnya dalam pertemanan, atau seperti contoh kasus saat saya melayani konsultasi, banyak peristiwa demikian : Pada masa-masa awal kebersamaan, merasa sangat berafinitas, merasa sangat baik, mereka menjalani hubungan penuh sukacita, timbul rasa sukacita ; Namun tak lama kemudian, juga tidak tahu entah kenapa, mereka menulis surat dan mengatakan : “Entah kenapa dia tidak lagi mempedulikan saya, saya juga tidak mempedulikan dia !” Keduanya saling menjauhkan.
Ini membuktikan apa ? Ini adalah contoh anitya dalam skala kecil. Banyak yang menulis surat : “Akhir-akhir ini sedang mengurus proses perceraian.” . Padahal dulu menikah di gereja di hadapan Tuhan. Di dalam gereja saat menikah akan ditanya : “Apakah Anda mencintainya ?”, “Cinta !” , “Apakah Anda juga mencintai dia ?”, “Cinta !” baiklah ! Tuhan menjadi saksi kalian ! Kalian harus saling mencintai, maka kalian telah resmi menikah, bentuklah keluarga, bersama menjalani hidup, di hadapan Tuhan tidak boleh berdusta, di hadapan Tuhan harus bicara jujur.
Oleh karena itulah saat Mahaguru memimpin upacara pemberkatan nikah, tidak pernah menanyakan hal-hal tersebut. Terlalu bertele-tele. Benar tidak ?! Mana ada orang yang sudah datang di depan berani mengatakan “Tidak cinta !” ? “Apakah Anda mencintainya ?” , “Tidak !” pertanyaan ini terlalu berlebihan. Apabila saya masih bertanya : “Datang kesini untuk apa ?”, dua orang datang kemari tentu saja hendak menikah, tentu saja semua mengatakan cinta ! Ini adalah sebuah sumpah. Telah bersumpah di hadapan Tuhan. “I swore” ! Saya bersumpah ! Bersumpah makan sawi putih, tidak ada gunanya ! Pasti akan berubah ! Sebab tidak kekal ! Dua atau tiga kali sudah habis ! Kesalahpahaman semakin mendalam, merasa tidak cocok ! Wah ! Akhirnya jatuh cinta pada orang lain ; Cintanya ada banyak, tidak hanya only one, terbagi menjadi banyak, hatinya bercabang, ini semua adalah anitya.
Kelahiran dan kematian juga anitya. Siapakah yang tahu kapan akan meninggal dunia ? “Pesawat mengalami masalah, mengapa tidak ada korban jiwa ? Mengapa semua masih hidup ?” Saya tanya kalian : “Pesawat mengalami masalah, terjadi kerusakan, tapi mengapa tidak ada korban jiwa ?” ( Ada siswa yang menjawab : “Sebab pesawatnya belum terbang.” ) Pasti Anda mencontek ! Memang benar ! Sebab pesawat itu samasekali tidak terbang. Sebenarnya jika pesawat meledak atau jatuh dari angkasa, sudah sangat sukar ditemukan satu korban selamat. Inilah anitya.
Anda tidak mengetahui kapan akan terlahir dan kapan akan meninggal dunia. Dari pemahaman ini, maka Anda dapat dituntun untuk memasuki Samyak-dharma, dari anitya kemudian merealisasikan anatman. Sebab ‘Aku’ Anda ini dapat musnah setiap saat. Anitya telah membangkitkan tekad bhavana Anda, Anda mengetahui bahwa ‘Aku’ ini tidak akan abadi. Oleh karena itu dapat merealisasi anatman, berasal dari anitya mencapai Samyak-dharma, kemudian menapaki jalan menuju Anatman.
Di dalam risalah ini terdapat sebuah perdebatan. Ada banyak Upadesacarya yang berpendapat bahwa teori anitya ini tidak dapat menuntun pada Samyak-dharma ; Namun banyak juga Upadesacarya yang berpendapat bahwa anitya dapat menuntun pada Samyak-dharma, dalam risalah bagian ini sedang mengulas persoalan tersebut.
Dalam risalah ada dinyatakan mengenai Hinayana : “Dalam semua Sravakayana, apabila belum memahami mengenai ikrar Bodhi, aktivitas agung dan pelimpahan jasa menuju pembebasan, maka mana mungkin dapat mencapai Kebodhisattvaan.” Ini juga merupakan sebuah pendapat.
Namun, seperti yang telah saya ulas barusan, bahwa dalam Sravakayana, asalkan telah mencapai anatman, maka ia akan mengetahui bahwa segala sesuatu adalah sunyata ; Karena sunyata, maka akan muncul pandangan setara, maka ia akan menapaki jalan Catur-apramana-cita.
Singkat kata, “Antara Hinayana dan Mahayana pada hakekatnya tidak dibedakan melalui pandangan.” ; Jadi membedakannya melalui apa ? Yaitu melalui besar kecilnya tekad Anda . Ada banyak orang yang masih memiliki tekad kecil, “Saya harus menyelamatkan diri terlebih dahulu.”, maka dia akan menjadi Hinayana, inilah ‘Pendirian Hinayana’. Sedangkan yang membangkitkan tekad lebih luas, maka ia adalah Mahayana. Ia akan berusaha untuk memberi manfaat pada diri dan insan lain, juga bertekad menuntun semua makhluk.
Demikianlah ‘Pendirian Hinayana’, merupakan berbagai upaya kausalya dalam hal pembangkitan tekad. Di sinilah letak inti persoalannya. Pengulasan hari ini sampai di sini.
Om Mani Padme Hum
19 Juli 1994