24 Mei 2020 Liputan “Tautkan Hati dengan Buddha” dari Rainbow Temple
( TBS Seattle / Shi Lianqi 釋蓮麒 )
Semenjak akhir bulan Maret sampai sekarang, pandemi telah berjalan selama 2 bulan, peraturan “Diam di Rumah Saja” dari pemerintah negara bagian Washington masih belum bisa dicabut. Lapangan parkir di depan homasala Rainbow Temple (彩虹雷藏寺) juga nampak lengang, kursi yang semula dipergunakan untuk para tamu, sekarang sudah nampak berdebu. Sepasang singa batu utara yang melambangkan Simharaja Bodhisattva sudah lama tidak melihat lalu-lalang tamu vihara, namun mereka masih setia menjaga pintu besi utama di Rainbow Vila, mereka tidak pergi kemana pun, wibawanya dalam menjaga pintu vila masih terus terpancar. Bunga merah muda dan bunga putih di kedua sisi pintu masuk telah bermekaran, mereka bergoyang tertiup angin. Nampak lebah-lebah yang sibuk bekerja, kadang naik dan kadang turun di atas bunga, terus sibuk mengisap nektar bunga, sepertinya mereka tidak merasakan perubahan besar kehidupan umat manusia di dunia baru-baru ini.
Adinata upacara homa bulan Juni telah diumumkan, melongok ke dalam, nampak para relawan Bodhisattva sedang sibuk menangani formulir pendaftaran yang terus berdatangan dari berbagai penjuru dunia, mereka sibuk mencetak, menggolongkan, dan memisahkannya berdasarkan waktu upacara. Setiap lembar formulir merepresentasikan doa dan harapan para umat, semua memanjatkan permohonan supaya Mulacarya dan para Buddha Bodhisattva berwelas asih mengadhisthana, dan supaya segala harapan dapat terpenuhi.
Siang pun tiba, raja angkasa muncul di langit vila, nampak sepasang elang paria terbang dengan gagah, berputar-putar mengikuti hawa panas, sepasang sayap mengepak sejenak dan terbuka lebar, nampak keleluasaan dan keanggunan berpadu di angkasa, seolah-olah sedang menampilkan kekuatan dan keindahan Dharmapala.
Tak lama kemudian, suara genta yang telah akrab di telinga mulai berbunyi, tokoh yang dinantikan oleh semua, Mahaguru dan Gurudara pun tiba di lokasi. Seorang relawan berlutut mempersembahkan buket bunga segar yang indah, Mahaguru menerima dan mengangkatnya sebagai persembahan bagi para makhluk suci.
Japamala mutiara berwarna putih tergantung di depan dada Mahaguru, Mahaguru mengungkapkan bagaimana cara membedakan antara mutiara asli dan palsu. Setiap butir mutiara nampak bundar halus, berkilau dan bersih, ibarat cintamani ( permata pengabul harapan ) dari Sang Dharmaraja yang siap untuk menganugerahkan terang manggala bagi para insan.
Sebelum Upacara Homa Mahadewi Yaochi dimulai, di langit muncul lingkaran cahaya matahari menyapu cuaca yang berawan semenjak pagi, lingkaran cahaya ini berukuran lebih besar dari yang sebelumnya pernah kita saksikan, dan sekelilingnya adalah cahaya tujuh warna yang nampak sangat indah, fenomena manggala ini bertahan setengah jam lamanya, baru kemudian perlahan sirna. Upacara homa yang dipimpin oleh Mahaguru pada hari itu sangat sempurna, api homa berkobar dengan baik, Mahaguru manunggal dengan Adinata Mahadewi Yaochi, menampilkan tubuh Mahaberdaulat dari cakra ajaran luhur, membersihkan lobha, dvesha, dan moha para insan, dengan daya agung elemen “Yang” murni menyapu bersih wabah penyakit, supaya semua Dewa Wabah dan kerabatnya segera kembali ke tempat asal.
Usai upacara, sesi “Anda Bertanya dan Aku Menjawab” antara Mahaguru dan para siswa selalu menjadi topik diskusi yang hangat bagi para relawan di arena. Mahaguru tertawa : “Justru masih lebih baik baik tidak bertanya, setelah bertanya malah muncul masalah lain yang lebih banyak, lebih detail, dan tiada habisnya.”
Ada relawan yang menanyakan cara melatih amanasikara, Mahaguru menjawab dengan singkat : “Pikiran sebelumnya telah lenyap, pikiran yang akan datang belum muncul, amatilah hal ini.” Latihan ini mesti dimulai dari latihan fokus, anatman, tiada persoalan, dan acitta, prana berhenti pada nadi, melepas pikiran mencapai kondisi bersih, dengan demikian baru bisa mencapai samadhi dan menghasilkan prajna, dan ini semua akan sangat sukar dikuasai jika bukan melalui latihan secara disiplin dalam waktu yang lama.
Ada relawan yang menanyakan, apakah seorang yang telah pencerahan boleh berhenti mempelajari Tripitaka ? Mahaguru menjawab, setelah pencerahan justru merupakan saatnya untuk mulai berbhavana, jalan yang mesti ditempuh masih panjang, sampai saat ini pun Mahaguru masih mempelajari kitab dalam Sutrayana maupun Tantra, bahkan pengetahuan duniawi pun masih terus dipelajari tanpa henti.
Seperti pada masa itu, di sisi Sang Buddha terdapat banyak sekali para siswa yang telah mencapai tingkat kesucian Arhat ( atau disebut juga Asaiksa, yang telah melampaui kondisi belajar ), beserta para Bodhisattva. Saat Sang Buddha membabarkan sutra, semua duduk mengelilingi Sang Buddha dengan penuh khidmat menyimak pembabaran Dharma. Demikian pula dengan Tripitaka, sadhaka dengan tingkat spiritual berbeda mendengar Dharma dengan lima jenis mata yang disebutkan dalam ajaran Buddha, antara lain : Mata jasmani, mata devata, mata kebijaksanaan, mata Dharma, dan mata Buddha, sehingga pemahaman setiap sadhaka terhadap Buddhadharma juga berbeda-beda. Sedangkan sadhaka yang baru saja memasuki pencerahan teori, dan akar kebijaksanaannya baru nampak sebentar saja, langsung jadi takabur, berhenti di tempat dan tidak melanjutkan memajukan diri, ibarat menginjakkan kaki di ambang pintu aula tanpa memasukinya, juga ibarat memasuki gunung mestika dan kembali dengan tangan hampa.
Tiba di ruang makan, nampak Mahaguru dan Gurudara sedang menimbang berat badan di timbangan digital di pojok ruang makan. Ternyata beberapa minggu lalu Mahaguru dan Gurudara telah menimbang berat badan, dan hari ini ada relawan yang mempersilakan Mahaguru dan Gurudara untuk kembali menimbang, demi memastikan bahwa selama masa pandemi, beliau berdua tidak bertambah kurus. Hasil timbang kali ini hampir sama dengan sebelumnya, jika dihitung berdasarkan indeks massa tubuh, Gurudara sedikit terlalu ringan, Mahaguru sedikit berat, namun semua masih masuk dalam standar internasional. Saat itu, Gurudara memanggil nama beberapa relawan pria supaya ikut menimbang berat badan, bahkan saat itu juga Gurudara menyebutkan berat badan mereka sebelumnya, sungguh mengejutkan mereka, ibarat seorang perempuan muda yang terkejut karena usianya diketahui oleh orang lain, malam hari ini mereka tidak berani makan terlalu banyak.
Pada saat santap bersama, membahas mengenai berat badan dan kesehatan, Mahaguru memuji kepiawaian Gurudara dalam mengatur makan dan minum, selama masa “Berdiam di Rumah”, Gurudara memasak aneka ragam lauk yang bergizi, namun hanya satu hal yang patut disayangkan, yaitu setelah makan Mahaguru mesti berubah menjadi pencuci piring, demi membantu meringankan pekerjaan rumah. Mahaguru juga memuji seorang biksulama yang piawai membuat roti dan keik keju yang sehat dan berkualitas, walaupun makanan sehat namun masih bisa memancarkan aroma wangi susu, Mahaguru dan Gurudara sangat menyukainya.
Mahaguru dan Gurudara membahas filosofi makan dan minum, umat yang memahami kebiasaan makan dan minum Mahaguru akan mengetahui prinsip : sedikit garam, sedikit minyak, sedikit gula ( atau bahkan tanpa gula ), dan rendah pati. Mempertahankan keseimbangan makan dan minum, ditambah dengan nutrisi yang seimbang, suplemen, dan di dalam usus dan lambung mesti ada bakteri baik, usai makan mesti bersihkan gigi dengan benang gigi, dengan demikian baru bisa makan minum dengan sehat.
Dalam ilmu pengobatan barat ada ungkapan : “Engkau adalah apa yang kau makan.” Apa yang Anda makan, seperti itulah Anda, ungkapan ini menginspirasi Mahaguru untuk mengisahkan dua cerita humor :
1. Seekor mama lalat membawa anaknya terbang ke tangki septik, si anak bertanya : “Kenapa kita selalu makan kotoran ?” Mama lalat menjawab : “Hus ! Saat makan jangan membahas hal yang menjijikkan !”
2. Seorang pasien setelah makan apa pun selalu keluar dalam bentuk semula makanan tersebut, sudah beberapa kali ia ke rumah sakit untuk minta pertolongan dokter, sampai si dokter merasa terganggu. Akhirnya si dokter memberi resep, di atasnya tertulis : “Sekarang hanya boleh makan kotoran, baru bisa menyelesaikan persoalan Anda.”
Riangnya hati Mahaguru memancar memengaruhi setiap orang yang ikut bersantap, dan hati yang riang sangat bermanfaat bagi sistem cerna kita.
Membahas mengenai memelihara kesehatan tubuh, Mahaguru mengatakan : “Tubuh mesti dirawat dan mesti olahraga, dengan demikian tidak akan mudah sakit.” Mahaguru sangat mengetahui bahwa orang zaman sekarang terjangkit penyakit : “Duduk lama dan kurang bergerak”. Setiap hari Mahaguru melakukan “Delapan Yoga Mahadewi Yaochi”, kebiasaan ini telah dilakukan dalam waktu lama, mulai dari yoga untuk mata, hidung, telinga, gusi, jantung, ginjal, paru-paru, dan perawatan hormon, bisa menghindari tumbuhnya sel yang tidak baik. Setiap hari Mahaguru juga melakukan mahanamaskara, vajramusti, dan bhavana, sekujur tubuh, mulai dari luar sampai dalam, semua diolaharagakan.
Banyak orang mencapai usia pertengahan mulai mengalami penuaan dan masalah kesehatan, namun Mahaguru sendiri masih memiliki pendengaran dan penglihatan yang baik, tubuh yang sehat, penuh vitalitas, respon masih cepat, dan daya ingat masih baik. Contoh yang terjadi hari ini, usai upacara, Mahaguru kembali ke bhaktisala, langsung melakukan toya vajra, disambung dengan vajramusti, sungguh sukar dibayangkan bahwa sebelumnya Mahaguru telah memimpin sebuah upacara selama dua jam termasuk dengan Dharmadesana, vitalitas Mahaguru sungguh membuat kita yang berusia muda merasa salut.
Beberapa metode olahraga dan perawatan kesehatan yang disebutkan di atas tidak memakan banyak waktu, orang yang suka beralasan tidak punya waktu dan tidak bisa bersadhana mesti meneladani Mahaguru, bagaimana Mahaguru menggunakan waktu untuk memelihara kesehatan dan berbhavana. Saat Mahaguru menunggu di luar ruangan, beliau akan menggerakkan tangan dan kaki, serta melakukan peregangan.
Selesai melukis, Mahaguru akan menggunakan beberapa alat olahraga sederhana di ruangan lukis untuk melatih tubuh. Suatu ketika, Mahaguru sudah turun dari loteng, hanya tersisa beberapa menit dari waktu upacara, Mahaguru memberitahu relawan di samping bahwa beliau akan melakukan pernapasan botol, Mahaguru langsung duduk di kursi, seolah-olah di sana tidak ada siapa pun, beliau mulai fokus pada olah prana dan reguk amrta ; Kita juga sering menyaksikan setelah Mahaguru turun dari kendaraan, beliau langsung melantunkan : “Namo Amituofo”, serta masih banyak berbagai contoh lainnya.
Walau Mahaguru merupakan seorang Mahasiddha, namun masih tetap menunjukkan teladan bagaimana memanfaatkan waktu dengan baik, bagaimana memanfaatkan kekinian, membuat metode olahraga menjadi salah satu bagian bhavana, sebab dengan tubuh yang sehat baru kita bisa berbhavana dengan baik. Mahaguru tidak hanya mengajarkan kita bagaimana berbhavana mengatasi penyakit batin, namun juga mengajarkan cara memelihara kesehatan dan menyembuhkan penyakit, Mahaguru bukan hanya seorang Dharmaraja, namun juga merupakan Raja Penyembuh !
Usai upacara, awan manggala terus bermunculan di angkasa, awan-awan laksana padmasana dari persamuhan para Buddha dan Bodhisattva, berkumpul memancarkan cahaya terang. Berbagai fenomena manggala seolah-olah menyemangati kita, bahwa esok pasti akan lebih baik. Hening di vila, bertemankan alam, seolah-olah berada di luar dunia. Dari kejauhan seolah terdengar suara lagu yang akrab di telinga : “Kampung Halamanku di Shigatse.”, namun lirik lagunya berisi mengenai Bodhimanda Rainbow Temple yang didirikan oleh Dharmaraja Liansheng, yang merupakan Shangri-La di negeri barat. Tanah ini adalah tanah mestika yang diramalkan oleh para Buddha dan Bodhisattva, tempat membimbing sadhaka mencapai pembebasan dari debu duniawi, dengan rasa penghormatan tinggi terhadap ajaran Mulacarya, kita pasti bisa mencerahi rahasia batin.