Rombongan Mountain View Community Church Sowan ke Seattle Ling Shen Ching Tze Temple
Liputan Acarya Shi Lianqi (釋蓮麒), Seattle
Pada Sabtu pagi, tanggal 22 April 2023, pukul 6, vihara cikal bakal Seattle menerima kunjungan pendeta dan rombongan Mountain View Community Church, Snohomish, Washington. Pendeta Brian Hebert memandu sekitar 20 orang umat sowan ke Seattle Ling Shen Ching Tze Temple, selama sekitar 2 jam. Berkat sambutan pihak vihara dan sukarelawan, kegiatan silaturahmi lintas agama dapat berjalan dengan sempurna, mewujudkan cinta kasih dan toleransi antar pemeluk agama yang berbeda, sehingga kedua belah pihak dapat saling belajar dan memahami persamaan. Selain membabarkan konsep Buddhadharma dan keistimewaan Zhenfo Zong, pada saat yang sama juga merayakan keberagaman budaya dan membangun keharmonisan dalam masyarakat. Dharmaraja Liansheng, selaku perintis Zhenfo Zong, pada tengah hari hadir dan turut berinteraksi dengan para umat Kristen, sungguh membuat mereka bersukacita, dan menjadikan kegiatan ini sebagai kenangan yang tak akan terlupakan.
Sesuai dengan jadwal acara yang telah dipersiapkan, rombongan gereja menaiki kendaraan khusus gereja, dan tiba di vihara pada pukul 11, disambut di ruang rapat perpustakaan vihara oleh Acarya Shi Lianqi (蓮麒上師) selaku sekretaris vihara, di atas meja telah tertata air teh dan materi panduan tertulis yang telah disiapkan pihak vihara. Pertemuan dimulai dengan kedua belah pihak saling memperkenalkan diri untuk menjalin keakraban.
Pendeta Brian, selaku pimpinan rombongan, tumbuh di Skotlandia, pernah mengabarkan Injil di Texas, dan telah menjabat sebagai pendeta pemimpin gereja saat ini selama hampir 2 tahun. Umat gereja yang ikut dalam rombongan terdiri dari laki-laki dan perempuan, dari berbagai usia, sebelumnya, mereka telah sowan ke masjid dan kuil Hindu, kini ingin mengenal agama Buddha, sehingga menghubungi Seattle Ling Shen Ching Tze Temple. Sukarelawan vihara yang hadir hari itu antara lain Biksu Lian’an (蓮庵法師), Samantha, Dakota, dan lain-lain.
Acarya Lianqi menggunakan keterangan bergambar, tertulis, dan beberapa media, memperkenalkan isi panduan kepada para tamu, serta berbagai pengetahuan yang terkait, termasuk di antaranya mengenai Zhenfo Zong dan perintisnya: Dharmaraja Liansheng, pengetahuan dasar agama Buddha, tata letak vihara cikal bakal, serta perjalanan pembangunan vihara sejak tahun 80’an. Di tengah perbincangan, Pendeta Brian mengungkapkan bahwa beliau juga tahu bahwa agama Buddha mengenal konsep alam suci. Rombongan umat gereja juga memperoleh kesempatan untuk mengajukan beberapa pertanyaan, dan Acarya menjawabnya dalam bahasa Inggris, dengan memadukan perumpamaan dari budaya Tiongkok dan Barat, justru membuat segenap tamu semakin antusias menyimak, dan terus menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa mereka bisa memahami dan setuju dengan penjelasan yang dituturkan.
Usai laporan singkat, Acarya Lianqi memandu para pengunjung untuk memahami setiap bagian luar dan dalam vihara, mulai dari tata cara masuk vihara, mempersembahkan dupa, menyampaikan penghormatan, dan cara menaikkan persembahan. Selain itu, segenap pengunjung juga diajak untuk mengenal mandala utama, mandala Dewa Hindu, mengenal pratima Buddha, Bodhisatwa, Dharmapala, dan para Dewata, memahami makna lukisan di dinding dan thangka, memperagakan berbagai alat pengiring puja dari tradisi Sutrayana maupun Tantrayana, serta cara menggunakan Air Mahakaruna Dharani. Umat gereja ada yang mendapati di depan pratima Dewa Mahabrahma terdapat pratima Yesus Kristus, mereka pun langsung berkerumun untuk menyaksikan, dan memotret sebagai kenangan. Dewa Dharmapala agama Buddha yang memiliki tekad melindungi dan menangkal bala, seperti Vajra krodha dalam baktisala, singa batu di depan vihara, Dewa Garuda, dan Dewa Naga, sangat menarik perhatian umat gereja, mereka bergantian mengajukan pertanyaan, mengungkapkan rasa ingin tahunya.
Saat melihat-lihat koperasi barang rohani, Morgan, selaku manajer koperasi menyambut dengan ramah, beliau meminta maaf karena tidak dapat menampilkan keseluruhan barang rohani yang ada, dikarenakan sedang ada renovasi dan pengecatan. Morgan mewakili vihara menghadiahkan satu buku Dharmaraja Liansheng dalam bahasa Inggris dan pelita kepada setiap pengunjung, seiring harapan supaya mereka dapat memperoleh manfaat Dharma dan mencerahi kebijaksanaan Buddhadharma.
Rombongan dengan berurutan mempelajari pedupaan Dewa Indra, roda mantra, Paviliun Raja Naga, Ksitigarbhasala, enam tungku kertas mulia, dan lain-lain, Acarya memperkenalkan vihara cikal bakal yang memadukan keistimewaan Tao, Sutrayana, dan Tantrayana, segenap pengunjung menikmati budaya dan seni agama Buddha yang sarat akan perpaduan harmoni antara budaya India, Tiongkok, dan Tibet, tamu agung mengungkapkan bahwa mereka dapat merasakan di berbagai lokasi vihara dipenuhi daya pembersihan hati, daya perlindungan kepada semua makhluk yang dibimbing menuju Buddha, Dharma, dan kebajikan. Mereka merasa sungguh terbuka wawasanya, dan bertambah pengetahuan yang berharga. Pengalaman langsung yang sarat akan spiritual sekaligus memanjakan mata, tak terasa membawa semua merasakan tamasya religi yang melampaui ruang dan waktu.
Satu hal yang menarik, kejutan yang timbul karena perbedaan antara budaya Timur dan Barat. Naga dalam agama Buddha dan budaya Tionghoa dapat menganugerahkan hujan, melindungi Buddhadharma, dan menjadi simbol manggala. Sedangkan dalam budaya Barat, naga sebagian besar dipandang sebagai naga jahat yang menyemburkan api dan memangsa umat manusia, sehingga pada saat rombongan hendak melangkah menuju Paviliun Naga, beberapa tamu merasa ketakutan. Acarya menunjuk kepada alat olahraga tiang tunggal di samping, menggoda tamu dengan mengatakan bahwa mesti terlebih dahulu melalui ujian olahraga tiang tunggal baru bisa membuktikkan bahwa diri sendiri memiliki daya tahan, dan baru bisa masuk Paviliun Naga untuk menghadapi tantangan, mendengarnya tamu pun tertawa, sehingga suasana menjadi lebih santai.
Usai perkenalan lingkungan vihara, dilanjutkan dengan 10 menit acara tanya jawab antara pengunjung dan pihak vihara, tamu teristimewa ingin mengetahui bagaimana caranya menggunakan poapoe dan bambu ramal untuk memohon petunjuk Buddha dan Bodhisatwa, Biksuni Lianjin (蓮金法師) menggunakan bahasa Inggris menjelaskan bagaimana tradisi Tionghoa menggunakan dua sarana komunikasi tersebut, dipadukan dengan metode ketulusan batin, sehingga dapat memperoleh petunjuk dari Dewata yang tak berwujud.
Berikutnya adalah beberapa menit acara bebas, Pendeta Brian dan umatnya mendapati bahwa beberapa umat vihara datang dari berbagai penjuru dunia, karena mereka berbicara dalam bahasa yang berbeda, dengan rasa ingin tahu yang besar, bertanya kepada umat vihara, mengapa menempuh perjalanan antar negara yang demikian jauh hanya demi datang ke Seattle Ling Shen Ching Tze Temple, apakah di negara masing-masing tidak ada tempat ibadah? Sukarelawan vihara menunjuk beberapa umat, meminta supaya mereka menjawabnya sendiri. Gareth dari Inggris dan Haryadi dari Indonesia menjawab dengan spontan, sebab Mulacarya Dharmaraja Liansheng ada di Seattle, ditambah lagi Buddha dan Bodhisatwa di vihara cikal bakal sangat welas asih dan memancarkan inspirasi spiritual yang besar, sehingga menjadikan tempat ini sangat istimewa, dan mereka datang Berdharmayatra setiap tahun. Dakota yang juga berada di lokasi menambahkan, biasanya tiap kali pujabakti hari Sabtu di vihara cikal bakal, ada puluhan umat yang tidak mengerti bahasa Mandarin, sehingga mereka mesti memakai penyuara telinga untuk mendengarkan terjemahan langsung dari bahasa Mandarin ke dalam bahasa Inggris.
Mendekati waktu santap siang, semua melihat kehadiran Dharmaraja Liansheng memasuki vihara, dengan didampingi oleh beberapa Acarya dan biksu/biksuni, rombongan gereja berfoto bersama Dharmaraja di depan vihara, semua bersukacita dapat berjumpa. Dharmaraja Liansheng memperkenalkan diri kepada Pendeta Brian dan rombongan gereja bahwa di masa muda, Beliau pernah dibaptis di Gereja Presbiterian Kaohsiung, pernah menjadi guru sekolah Minggu pendalaman Alkitab. Dharmaraja Liansheng bahkan menggunakan bahasa Mandarin untuk mengucapkan ayat-ayat Alkitab diperdengarkan kepada Pendeta Brian, saat penerjemah kesulitan menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris, Pendeta Brian dapat mengenali beberapa istilah yang diucapkan oleh Dharmaraja dengan pelafalan Mandarin, dan dapat menebak ayat dengan tepat. Dari sini dapat kita ketahui, bahwa antara agama Buddha dan Kristen, asalkan menggunakan ketulusan, pasti dapat menembusi kebijaksanaan yang terkandung dalam ajaran Buddha dan Yesus.
Dharmaraja Liansheng juga mengungkapkan kepada semua di lokasi, bahwa Yesus juga merupakan Guru dari Dharmaraja Liansheng. Yesus di hati, Buddha di hati, semua sama. Dharmaraja tidak membedakan, tidak ada perbedaan dalam menyikapi agama, semua dihormati dengan setara, hanya saja Dharmaraja mencapai keberhasilan melalui fokus menekuni metode Tantrayana. Umat di lokasi juga mengangkat tangan bersaksi bahwa Dharmaraja kadang menggunakan sabda Yesus dan ayat Alkitab untuk membabarkan Buddhadharma.
Dharmaraja menemani segenap tamu untuk bersantap bersama, pihak vihara telah mempersiapkan dua meja untuk tamu, serta meminta Samantha dan beberapa umat yang lancar berbahasa Inggris untuk menemani tamu bersantap. Dharmaraja Liansheng dengan penuh perhatian berpesan kepada sukarelawan di dapur, jika di antara tamu ada yang tidak terbiasa dengan masakan Tionghoa, bisa menyajikan pizza atau roti isi kepada mereka. Pendeta Brian pun mengaku kepada Dharmaraja, bahwa beliau paling gemar masakan Tionghoa, sebabnya adalah ketika Pendeta Brian besar di Skotlandia, beliau sangat menyukai masakan Tionghoa yang dimasak oleh seorang teman ibunya yang berasal dari Taiwan. Santap siang penuh rasa kekeluargaan, terdengar suara tawa sukacita.
Usai santap bersama, dengan sopan Dharmaraja berpamitan dengan para tamu, karena sebentar lagi mesti memberi layanan konsultasi. Pendeta Brian dengan tulus mengungkapkan kepada Dharmaraja, selama 10 tahun membawa rombongan untuk berkunjung ke beberapa lembaga, kunjungan ke Seattle Ling Shen Ching Tze Temple kali ini merupakan pengalaman paling baik dalam sejarah! Dharmaraja menyampaikan kepada pihak vihara, jika ada kesempatan, kita juga mesti berkunjung ke gereja mereka (Mountain View Community Church). Mendengarnya, Pendeta Brian sangat gembira, dan terus mengungkapkan niat beliau untuk mengundang pihak vihara untuk datang berkunjung ke gereja mereka.
Dari kuesioner yang dikumpulkan, kita mengetahui bahwa sahabat Kristiani yang berkunjung memberikan penilaian sangat baik, antara lain: "Bisa belajar ajaran agama Buddha, khususnya Zhenfo Zong.", "Kunjungan yang penuh kehangatan persahabatan dan inspirasi.", "Santap siang yang sangat istimewa.", "Suka lingkungan vihara", "Semakin dekat dengan seni dan kebudayaan.", dan "Panduan dan penjelasan yang sungguh mendetail.", mereka bisa merasakan bahwa setiap orang di sini sangat ramah, bersahabat, dan menyambut tamu dengan baik, sehingga kunjungan kali ini bisa pulang dengan banyak hasil yang bermakna, menambah pemahaman terhadap agama Buddha, khususnya Zhenfo Zong.
Semua ini berkat Dharmaraja Liansheng yang senantiasa mengajarkan kepada kita semua, ketika melihat wajah baru di tempat ibadah, kita mesti punya inisiatif untuk peduli, setiap umat menjadi diplomat, supaya tamu yang datang berkunjung merasakan benar-benar dihargai, sehingga timbul keinginan untuk datang kembali.
Buddha dan Bodhisatwa memiliki daya ikrar agung untuk memenuhi harapan setiap makhluk, membimbing semua supaya terbebas dari duka, mencerahi kebahagiaan sejati. Dharmaraja Liansheng menggunakan metode Ribuan Bahtera Dharma menyeberangkan semua makhluk, sesuai dengan nidana setiap makhluk, tidak hanya menyeberangkan mereka ke Buddhaksetra, bahkan juga menyeberangkan mereka yang berjodoh dengan kerajaan surga. Zhenfo Zong merupakan kelompok keagamaan yang bersifat internasional dan penuh toleransi, kami yakin kebenaran sejati melampaui batasan kesukuan, wilayah dan tradisi.
Singkat kata, melalui komunikasi, kita dapat mencairkan hubungan, utamakan saling memahami dan belajar, lepaskan sekat keakuan, supaya semua pihak menjadi sahabat karib, demi membangun keharmonisan kehidupan bermasyarakat. Jika tempat ibadah ingin menyeberangkan insan luas, selain mengamalkan "Hormati Guru, hargai Dharma, dan tekun berbhavana.", wajib menghindari sikap menutup diri, dan justru wajib untuk memperlapang hati, berinteraksi dengan masyarakat, mempelajari hal-hal baru, melangkah ke arah internasional, terus belajar demi meningkatkan kualitas diri, melayani masyarakat luas, memberikan petunjuk dan bantuan kepada insan, memandu mereka berjalan menuju kebahagiaan. Berkat dukungan dan partisipasi khalayak, barulah sebuah tempat ibadah dapat terus berkembang pesat!