436 - Bersarana Pada Acarya (2)
Kita mengulas perihal bersarana kepada Acarya. Sebelumnya kita telah mengulas tiga makna bersarana, yang pertama adalah berlindung sepenuhnya atau sebuah sarana yang penuh dan sempurna, sehingga dapat memperoleh kekuatan adhistana dari Guru.
Selain sarana penuh, yang kedua adalah Anda harus menghormati-Nya, dalam Tantrayana terdapat ‘Lima Puluh Syair Pengabdian Pada Guru’ yang mengajarkan bagaimana seorang siswa mengabdi pada Mulacarya, Anda perlu sering membacanya. Rasa hormat kepada Guru sudah pasti benar, sebab Anda perlu berlindung secara total kepada Guru, tentu saja Anda harus menghormatinya, mana bisa tanpa rasa hormat, sebab tanpa rasa hormat, untuk apa Anda bersarana? Sangat sederhana, apabila Anda tidak menghormati Guru Anda, maka untuk apa Anda bersarana? lebih baik tidak usah bersarana. Oleh karena itu kita harus mempunyai rasa penghormatan terhadap Guru kita sendiri. Dalam Tantrayana diajarkan mengenai persembahan tubuh, ucapan dan pikiran, bersarana pada Vajracarya berarti mempersembahkan tubuh, ucapan dan pikiran.
Dahulu saya menceritakan sebuah lelucon, ada siswa yang mengatakan: “Mahaguru, saya mempersembahkan tubuh, ucapan dan pikiran kepada Anda!”, dengar yang jelas! Ia mengatakan mempersembahkan tubuh, ucapan dan pikiran sepenuhnya kepada Mahaguru. Kemudian saya melontarkan sebuah lelucon, apabila saat itu Mahaguru langsung menghampiri kemudian menampar Anda “Plak!”, raut wajahnya langsung berubah: “Kenapa kamu menampar saya?” Berubah seketika. Yah! Bukankah barusan Anda mengatakan persembahan tubuh, ucapan dan pikiran? Tubuh Anda telah dipersembahkan pada Mahaguru, ucapan menjadi milik Mahaguru, pikiran juga demikian, semuanya berada dalam kondisi penghormatan, namun, “Plak!” Satu tamparan, raut wajahnya langsung berubah, mulai luntur keyakinannya.
Persembahan tubuh, ucapan dan pikiran bukan perkara mudah, tubuh Anda telah menjadi milik Mahaguru, Anda telah mempersembahkannya kepada saya, maka tentu saja boleh saya menamparnya sekali! Namun dalam pikiran siswa tersebut, persembahan tubuh, ucapan dan pikiran hanya sebatas bibir belaka, bukan persembahan sejati. Penghormatan sejati adalah persembahan tubuh, ucapan dan pikiran, jika Anda telah mempersembahkan tubuh, ucapan dan pikiran sepenuhnya kepada Mahaguru, maka apa pun yang Mahaguru tugaskan, Anda melaksanakan sesuai instruksi. Ucapan hendaknya memuji Guru Anda sendiri, batin menghormati Guru Anda sendiri dan tubuh dipersembahkan untuk melaksanakan instruksi Guru Anda sendiri, inilah persembahan tubuh, ucapan dan pikiran, harus dipahami dengan jelas.
Yang ketiga adalah ketaatan, apa yang telah diinstruksikan oleh Guru, maka Anda melaksanakannya dengan penuh ketaatan, tanpa membantah, sebab kita telah mempersembahkan tubuh, ucapan dan pikiran. Saat saya menginstruksikan sesuatu, Anda membantahnya: “Jangan begitu, jangan!” Atau malah ribut dan mengadakan rapat untuk mengambil keputusan, apakah ini merupakan persembahan tubuh, ucapan dan pikiran? Apa pun yang diinstruksikan oleh Guru, maka Anda harus menaatinya, tidak ada tawar-menawar. Terhadap Guru saya sendiri, saya juga demikian, mempersembahkan tubuh, ucapan dan pikiran, apa pun yang dikatakan oleh Guru, maka kita menaatinya, tidak peduli apa pun alasannya, hanya ada ketaatan. Anda telah bersarana kepadanya, kemudian Guru mengkritik Anda, memaki Anda, Anda tetap harus menaatinya, tidak membantah-Nya. Sekalipun Anda ditampar, Anda tetap taat, mengapa? Sebab tanpa ketaatan, mana mungkin ada kekuatan adhistana? Guru memiliki kebijaksanaan, Ia mampu memahami, siswa ini penuh penghormatan, penuh ketaatan, patut menerima adhistana, ini benar adanya, sebab saat seorang Guru mengetahui Anda penuh penghormatan dan taat dalam segalanya, maka adhistana Guru akan semakin besar.
Apabila seorang siswa tidak menghormati Guru, bahkan menggunjing di belakang Guru, tiap kali berjumpa dengan Guru selalu ingin meludahi-Nya, namun dia masih saja datang, begitu Guru melihatnya: “Wah! Ingin adhistana?”, namun batin Guru mengetahui: “Siswa ini berniat buruk, masih berpura-pura memohon adhistana?”, Guru menjamah, menerima pujana, ini semua palsu, ia hanya menjamah kepala tanpa menggunakan tenaga, tiada kekuatan adhistana. Ini semua terlihat sangat jelas, apakah seorang siswa benar-benar hormat, apakah benar-benar taat, apakah bersarana secara total, Guru mengetahui semuanya.
Secara sederhana, saat Guru mentransmisikan sadhana, membabarkan kiat dan inti sari ajaran, tentu saja kita harus menghormati dan menaati, bersarana secara total. Namun ada juga siswa yang sangat bandel, yang suka terlambat saat pelajaran dimulai, suka membolos, sama sekali tidak hadir, bahkan di belakang masih menggunjing, selalu menentang Anda dalam segala hal, dia mengacungkan jarinya dan mengajukan protes, selalu membuat suasana sangat tidak nyaman, Guru telah mengetahui sejak awal: “Ini adalah apel busuk!”, sudah sejak awal merasa tidak nyaman. “Baiklah, kemari, saya transmisikan kiat dan inti sari ajaran kepada Anda.”, apakah menurut Anda ini mungkin terjadi? “Baik, kemari, saya abhiseka Anda, saya akan mentransmisikan kiat dan inti sari ajaran yang paling penting kepada Anda!” Mana mungkin?
Tidak peduli agama apa pun, dalam agama Kristen juga dikatakan: “Berdoa dengan penuh ketulusan.”. Tiap kali kita berdoa maupun bersadhana, harus dilakukan dengan penuh ketulusan, Anda memohon kehadiran Buddha Bodhisattva, tentu harus sepenuh hati, saat Anda berdoa dan melakukan homa dengan sepenuh hati dan ketulusan, tentu saja Buddha Bodhisattva akan hadir. Namun apabila hati Anda bercabang, tubuh sedang bersadhana di sini, tapi pikiran penuh dengan kekotoran, coba Anda renungkan, mana mungkin Buddha Bodhisattva akan hadir? Demikian pula dengan sikap Anda terhadap Guru, apabila Anda tidak bersarana dengan sepenuh hati, mana mungkin Guru akan mentransmisikan kiat dan inti sari penting kepada Anda, mana mungkin mengabhiseka Anda? Anda harus mentaati semua sila, harus memiliki penghormatan dan ketaatan, maka tentu saja semua pusaka dalam dirinya akan diberikan kepada Anda. Namun apabila Anda tidak demikian, maka dia akan melakukan pemotongan, dalam hatinya berpikir: “Baik! Anda selalu demikian, maka saya akan menyimpannya sedikit.”, padahal hendak mentransmisikan sepenuhnya kepada Anda, tapi akhirnya dipotong 50%.
Tiga syarat utama untuk memperoleh adhistana penuh adalah: bersarana secara total, penghormatan dan ketaatan. Ini semua harus kita miliki dalam menekuni Buddha Dharma, demikian pula saat kita berdoa kepada Buddha Bodhisattva. Sepenuh hati bersarana, 100% menghormati dan menaati, maka sinar Buddha pasti menyinari Anda, namun apabila Anda tidak mempunyai rasa hormat, timbul keraguan, tidak taat, tentu saja tidak akan ada kekuatan adhistana. Oleh karena itu dalam Tantrayana ada samaya, yang merupakan jalinan anatara Guru, Buddha dan siswa.
Om Mani Padme Hum.