476 - Syarat Mencapai Kebuddhaan (10)
Kita lanjutkan pengulasan, “Tak tergoyahkan”.
Saat kita sedang Berdharmadesana, ada pesawat yang melintas, kita tetap harus tak tergoyahkan, ini merupakan hal yang aktual. Pada umumnya, menghadapi kondisi apa pun, Anda harus tenang dan tak tergoyahkan. Sebab begitu batin Anda kacau, Dharmadesana Anda akan terpengaruh, dengan demikian juga akan memengaruhi para pendengar.
Sesungguhnya suara-suara dari luar juga bisa mengganggu. Oleh karena itu, ilusi pengelihatan, ilusi pendengaran, dan ilusi suara, sungguh bisa mengganggu.
Seperti saat kita Berdharmadesana, Anda mengatakan pesawat yang melintas sama sekali tidak memengaruhi Anda, sesungguhnya memengaruhi. Namun Anda harus belajar untuk tak tergoyahkan, menganggap suara tersebut sebagai suara mantra, diserap, kemudian dipancarkan kembali keluar.
Segala fenomena yang baik tidak memengaruhi Anda, segala fenomena yang buruk juga tidak menakutkan Anda, ini merupakan sebuah latihan. Kelak Anda menekuni metode bhavana Tantrayana, cakra anahata di dalam sushumna terbuka, memancarkan sinar kemurnian, ini merupakan kemampuan dalam samadhi, samadhi Anda telah nampak, batin memancarkan sinar kemurnian, kelak Anda mencapai Mahasiddhi Sinar Pelangi.
Anda tidak boleh teperdaya oleh segala gangguan dari luar, sebab dapat memengaruhi diri sendiri. Oleh karena itulah Guru Padmasambhava mengatakan, “Tak tergoyahkan”.
Di dalam samadhi, saya memperoleh anubhava (pemahaman melalui praktik), ada tiga hal yang sangat penting. Yang pertama, sunya sangat penting, sebab sunya merupakan esensi dari Sarvadharmakaya. Kesadaran Alam Semesta merupakan sunyata, merupakan substansi mula. Karakteristik yang muncul, menurut saya adalah sinar kemurnian, terang nan murni merupakan karakteristiknya. Inilah yang saya pahami, sebab terang merupakan vijnaptinimitta (meminjam sesuatu yang memiliki karakteristik untuk melambangkan kebenaran yang tidak berwujud). Dalam mempelajari Buddhadharma, Anda harus menggunakan prinsip substansi, karakteristik dan fungsi. Substansi mulanya adalah sunyata, karakteristiknya adalah terang, sinar kemurnian, sedangkan fungsinya adalah Mahasukha.
Mahasukha dan karakteristik merupakan sesuatu yang eksis. Mahasukha sendiri tidak berwujud. Apa yang disebut bahagia? Misalnya ada yang menanyai Anda, “Apakah Anda bahagia?”, Anda mengatakan, “Bahagia.”, “Keluarkan kebahagiaan itu.”, Anda tidak bisa mengeluarkannya, namun memang ada kebahagiaan tersebut, ini adalah “Eksistensi”. Terang juga memiliki karakteristiknya, fungsinya adalah Mahasukha.
Sunyata, sinar kemurnian dan Mahasukha, ketiganya berpadu, menurut saya inilah eksistensi luhur dalam sunya sejati. Ini merupakan fenomena Pencerahan. Fenomena Pencerahan bukan sepenuhnya sunya. Apabila sepenuhnya merupakan sunya, maka untuk apa kita menekuni Buddhisme? Bukankah musnah bersama-sama merupakan sunya, bersama menjadi ketiadaan, menjadi hampa, semuanya adalah kehampaan. Jika semua adalah kehampaan, apa yang Anda lakukan? Apa fungsi Anda? Tiada fungsi.
Oleh karena itu dalam mempelajari Buddhadharma, diperlukan prinsip substansi, karakteristik dan fungsi. Substansinya adalah sunyata, karakteristiknya adalah sinar kemurnian, fungsinya adalah Mahasukha. Coba Anda renungkan Sukhavatiloka, Ksetraparisuddhi dari Namo Amitabhaya Buddhaya, ada apa di sana? Saya beritahu Anda, di sana merupakan Mahasukha. Seandainya Sukhavatiloka merupakan kehampaan, begitu masuk hanyalah ketiadaan dan kehampaan, tiada apa pun, maka tidak akan disebut sebagai Sukhavatiloka, itu adalah Surga Arupadhatu.
Dalam pendalaman Buddhisme, eksistensi luhur dalam sunya sejati, eksistensi ini adalah Mahasukha dan sinar kemurnian, terang nan murni, di dalamnya terdapat Mahasukha. Substansi di lapisan luarnya, eksis di dalam sunyata. Sebab dengan demikian, barulah merupakan kondisi Pencerahan yang tepat.
Oleh karena itu, apabila Anda sepenuhnya sunya, berarti Anda memasuki kehampaan. Apabila Anda melekat pada mahasukha, berarti Anda adalah awam. Oleh karena itu, tak tergoyahkan sejatinya bukan di dalam sunyata. Seperti Mahaguru Lianchi, mendadak dia melihat Buddha, dalam sekejap menjadi mara, akhirnya dia melafal, “Namo Amituofo”, sepatah kata “Namo Amituofo” ini merupakan eksistensi. Buddha yang dilihat adalah sunyata, mara yang dilihat juga adalah sunyata. Anda tidak melekatinya, melafal, “Namo Amituofo”, ini adalah eksistensi, menghasilkan eksistensi luhur. Setelah melafal, batinnya menjadi murni, batin menjadi tenteram.
Oleh karena itu, adakalanya saya juga menganjurkan pelafalan Nama Buddha. Mengapa? Sebab setelah melafal Nama Buddha, di dalam batin ada Buddha, Anda akan menghasilkan kondisi tenteram dari Buddha.
Meskipun Mahaguru menekuni Tantra, dan Guru Sesepuh kita, Tsongkhapa mengatakan, menjapa mantra berarti menjapa hati Buddha, melafal Buddha berarti melafal Nama Buddha. Namun sesungguhnya keduanya setara, menurut saya kita juga perlu melafal Nama Buddha. Apabila pelafalan Nama Buddha dapat memberikan ketenteraman, maka Anda perlu melafal Nama Buddha. Melalui penjapaan mantra, Anda dapat menghasilkan sinar kemurnian, maka Anda harus menjapa mantra, vidyadhara.
Ada banyak metode untuk menuntun para insan, namun satu hal yang perlu Anda ketahui, jangan melekat pada sunyata. Melekat pada sunyata akan memasuki kehampaan. Anda juga jangan melekat pada eksistensi, sebab melekat pada eksistensi akan memasuki keduniawian. Oleh karena itu sunyata dan eksistensi perlu dipadukan, menjadi perpaduan sinar murni, Mahasukha dan sunyata, menjadi sebuah realisasi yang sangat agung dan paling tepat.
Saya harap, bagi yang menekuni Buddhisme, jangan terjerumus pada meditasi sesat, juga jangan terjerumus pada keduniawian, terlampau duniawi juga tidak baik. Keduanya perlu diseimbangkan, inilah semangat jalan tengah.
Om Mani Padme Hum.