Hari ini kita membahas, mana yang lebih baik, tinggal di pedalaman gunung atau di pusat kota? Ini menunjuk pada kehidupan bhavana, lebih baik dijalani di pedalaman gunung atau di kota yang ramai.
Guru Sesepuh Tantra, Gampopa, Beliau mengatakan, tinggal di gunung juga baik, tinggal di kota juga baik.
Demikianlah menurut Bodhisattva dalam Mahayana, ketika baru mulai berbhavana, perlu untuk tinggal di pedalaman gunung, sampai saat daya samadhi Anda telah memenuhi syarat, Anda telah Tercerahkan, maka Anda mesti pindah ke kota. Di pedalaman gunung melakukan bhavana pribadi, sedangkan di perkotaan menuntun para insan. Di pedalaman gunung, yang terutama adalah ketekunan. Di kota, yang terutama adalah totalitas dalam misi Bodhi.
Pendapat saya sama dengan Gampopa, Guru Sesepuh Kagyudpa. Di pedalaman gunung memiliki tujuan dan kondisi lingkungan yang berbeda, menetap di kota juga ada tujuan yang berbeda.
Seperti kita yang tinggal di Rainbow Vila, hanya pelangi di angkasa yang menemani Anda, hanya ada gunung, pepohonan, bunga, rumput, dan tidak ada orang lain. Bhavana di tempat yang demikian akan lebih mudah untuk konsentrasi. Anda akan lebih tekun dalam Ekagrayoga, batin juga tidak akan tercemari. Dahulu kita sering mengatakan, masyarakat adalah sebuah guci pewarna raksasa. Oleh karena itu, bhavana di pedalaman gunung akan cenderung tidak mudah tercemari.
Zaman dahulu, tidak peduli itu belajar kungfu, belajar jurus pedang, semua harus tinggal di pedalaman. Setelah sukses mempelajarinya, baru disebut: ‘Turun gunung’, setelah menguasainya baru turun gunung, jika masih belum menguasainya, semua harus tetap berada di gunung, dengan demikian akan lebih mudah mencapai keberhasilan.
Lingkungan perkotaan, bukanlah tempat yang sangat mudah untuk mempelajari sesuatu, sebab pencemaran di sana sangat hebat. Ketika Anda belum berhasil memiliki daya samadhi, Anda akan sangat mudah tenggelam dalam pencemaran kota. Batin Anda akan terus timbul dan tenggelam.
Menurut saya, yang dipelajari di pedalaman gunung adalah satu, yaitu ‘hening’. Yang dipelajari adalah satu, yaitu: ‘samadhi’. Apabila Anda belum mempunyai ketenangan batin, maka Anda tidak akan betah menetap di Rainbow Vila. Sebab, tidak ada banyak orang yang bisa diajak berbicara, tidak ada banyak hal yang bisa dilihat, hanya berada dalam satu lingkungan.
Saat itu, apabila Anda tidak tekun dalam pembinaan samadhi, maka Anda hanya menyia-nyiakan waktu belaka. Oleh karena itu, yang kita tekuni di pedalaman gunung hanya satu, yaitu ‘samadhi’, dan satu hal yaitu ‘hening’.
Di kota, Anda juga menekuni hening dan samadhi, menurut saya sama saja. Sebab di tengah-tengah berbagai kekacauan, apabila Anda sanggup tenang dan mantap, berarti Anda sanggup melampauinya.
Ketika sadhaka hening, bagaikan permukaan danau yang tenang, tiada ombak sedikit pun. Namun ketika bergerak, bagaikan singa, tidak kenal rasa takut.
Sama seperti bushido di Jepang, ketika mereka bertanding pedang, pada permulaan mereka akan berada dalam kondisi hening dan mantap. Ketika memegang pedang di depan, berarti mereka sedang mempertandingkan keheningan, penuh dengan hawa pedang, sekujur tubuh diliputi dengan hawa, sangat tenang, tidak melancarkan serangan.
Namun di dalam keheningan ini, tersimpan gerakan, sebuah gerakan yang tangkas. Ketika keduanya sedang bertanding pedang, lihatlah langkah mereka, semua kukuh menapak di atas bumi, sama sekali tidak bergerak, semua hening.
Ketika menggerakkan kakinya, mesti dilakukan sedikit demi sedikit, mereka sedang memperhitungkan panjang jangkauan pedang. Harus mengena dalam satu kali gerakan. Apabila tidak mengena, berarti titik lemah Anda akan terlihat.
Berapa panjang pedang, berapa panjang jangkauan orangnya, berapa panjang tangannya. Begitu menyerang… bayangkan sendiri hasilnya! Sepenuhnya ada dalam hening dan mantap, menghasilkan sebuah hawa, keduanya sedang bertanding hawa.
Bahkan, ketika pihak lawan tidak bisa tenang, pikirannya terus bergolak, maka dia akan melemparkan pedang dan mengatakan: “Aku kalah!” Kenapa? Sebab dia merasa pihak lawan memiliki kemantapan bagai gunung, dan ketika dia sendiri tidak sanggup mencapai ketenangan seperti lawan, maka dia melemparkan pedangnya dan mengaku kalah.
Dari manakah keahlian ini? Ditempa di pedalaman gunung. Melihat danau, melihat air terjun, ketika bergerak harus sama seperti air terjun, ketika diam, harus sama seperti permukaan air yang tenang.
Om Mani Padme Hum.