507 - Lingkungan Bhavana Mahamudra (3)
Kita bahas lingkungan bhavana Mahamudra.
Ekagrayoga memerlukan pertapaan, nisprapanchayoga perlu menetap di pedalaman gunung, samarasayoga menetap di pusat kota, sedangkan abhavanayoga menetap di angkasa.
Kita telah mengulas ekagrayoga, sekarang kita lanjutkan dengan nisprapanchayoga, sesungguhnya adalah meninggalkan segala macam prapanca (argumen tidak bermanfaat) dan permainan duniawi. Prapanca juga dibahas dalam Buddhadharma, sebagian besar tergolong dalam materi uttpatikrama. Ketika telah meninggalkan segala macam prapanca, berati telah terpusat dalam sampannakrama atau bhavana lokuttara, tiada lagi segala macam prapanca seperti dalam lokiya.
Permulaan bhavana Mahamudra memerlukan pertapaan. Kemudian, menetap di pedalaman gunung, mengapa demikian? Sebab, ketika menetap di pedalaman gunung, indra pengelihatan bersih, indra pendengaran bersih, penciuman, perasa, sentuhan juga cenderung bersih, kondisi ini sangat bermanfaat bagi sadhaka.
Oleh karena itulah, saat para Guru Sesepuh mulai menekuni bhavana, mereka akan menetap di pedalaman gunung, meninggalkan segala permainan duniawi di dunia saha. Harus demikian, memiliki keteguhan tekad untuk mengakhiri tumimbal lahir diri sendiri, mencerahi Tathata, memperoleh Anuttaraprajna, oleh karena itu mesti menetap di pedalaman. Demikianlah jalan yang ditempuh oleh sebagian besar sadhaka semenjak zaman dahulu.
Ketika telah melangkah masuk dalam samarasayoga, kondisinya telah berbeda, sebab ia telah mencerahi Kebenaran Semesta, telah memiliki Hati Vajra yang tidak akan berubah, saat itu boleh turun gunung untuk menjalankan misi Bodhi di perkotaan. Bhavana sebelumnya adalah demi sendiri, dan sekarang adalah demi para insan, maka dia menetap di keramaian kota, samarasayoga menetap di pusat kota. Mengapa boleh menetap di pusat kota? Sebab saat itu, segala hal telah menjadi samarasa. Dalam kondisi batin tak berubah, segala sesuatu menjadi murni. Dalam pandangannya, semua insan adalah Buddha dan Bodhisattva.
Akhir-akhir ini saya mendengar ucapan Mother Teresa, di antaranya ada satu hal. Biarawati ini memiliki kemuliaan, ucapannya sungguh mengharukan saya. Dia mengatakan, ketika dia mencuci luka orang sakit yang bernanah, menurutnya dia sedang mencuci luka-luka Tuhan. Dia memandang setiap orang miskin, setiap orang sakit, setiap orang yang tertimpa bencana, dan setiap orang yang sedang dalam kondisi kritis sebagai Tuhan. Dalam hal ini, dalam pandangan saya, dia memiliki kesamaan dengan Vajrayana.
Mengapa demikian? Sebab dengan menekuni Buddhisme, sampai pada tingkatan samarasa, Anda akan memandang tiap insan sebagai Buddha Bodhisattva. Kita pernah berkunjung ke India, dan mengetahui penduduk setempat berkulit hitam, di pinggir jalan pun ada orang yang terbaring dalam kondisi kritis. Di pagi hari kami naik kereta api, gerbong sudah penuh, ada yang berbaring, ada yang duduk, semua bagaikan mayat hidup. Ketika berjalan di jalanan yang gelap, Anda mengira tidak sengaja menginjak sesuatu, begitu diamati, ternyata banyak orang di sana, terus berdatangan, semua berkulit gelap.
Bunda Teresa membawa semua orang yang telah berada dalam kondisi kritis ke tempatnya, yaitu Kalighat (Rumah Menjelang Wafat), menghibur mereka dengan kerohanian, mengobati sakit-penyakit mereka, dan mencuci luka-luka mereka. Dia memandang setiap insan sebagai Tuhan, inilah kesetaraan, tiada diskriminasi, ini sama dengan tingkatan samarasayoga dalam Tantra. Coba renungkan, siapa yang sanggup melakukannya?
Ketika Anda telah memperoleh Kebenaran Sejati, memperoleh samarasa, semua setara tiada diskriminasi, setiap insan adalah Buddha Bodhisattva, Anda akan memiliki tekad untuk menolong orang lain. Saat itu Anda perlu menetap di kota, teristimewa untuk menolong para insan. Tidak hanya menolong tubuh jasmani mereka, namun juga menolong rohani mereka.
Ketika berkunjung ke San Fransisco, Mother Teresa mengatakan, di Amerika lumayan, dalam hal materi tidak semiskin di India, namun orang Amerika tetap saja miskin, miskin apa? Miskin rohani. Di mana-mana terlihat orang yang kesepian, batinnya merasa sepi, mereka mengalami penolakan, orang semacam ini juga tergolong miskin. Bukan miskin secara materi, namun miskin secara rohani.
Ketika Anda telah mencapai tingkatan samarasayoga, Anda boleh menetap di pusat kota, sebab batin Anda tidak akan berubah.
Om Mani Padme Hum.