515 - Sadhana Pertobatan Nomor Satu (1)
Kita mengulas sadhana pertobatan nomor satu.
Kita umat Buddha, sering menasehati orang lain untuk meyakini Buddhadharma, saat itu, beberapa orang akan menjawab: “Saya tidak perlu meyakini Buddhadharma, yang penting hati saya baik.” Inilah yang sering kita dengar.
“Saya tidak percaya agama apa pun, yang penting hati saya baik.” Apakah perkataan ini benar? Seharusnya benar, namun ada kelirunya juga. Sisi benarnya, sesungguhnya hati Anda adalah Buddha, hati adalah Buddha, yang terpenting adalah hati yang baik. Memang benar, hati yang baik sudah merupakan Buddha. Kalimat ini benar adanya, namun juga keliru.
Pertanyaannya, menurut sutra Buddha: “Tiap pikiran dan perbuatan para insan di jambudvipa adalah dosa.” Para insan di jambudvipa, tiap besit pikiran dan tiap perbuatannya adalah dosa.
Apakah Anda sanggup menjamin bahwa hati Anda selamanya baik? Oleh karena itu, dalam ucapan tersebut ada sebuah tanda tanya besar.
“Saya tidak memercayai apa pun, yang penting hati saya baik.” Pada umumnya banyak yang menjawab demikian. Hati adalah Buddha, ini benar adanya. Hati Anda baik, itulah Buddha. Namun sesungguhnya, jika Anda selami lebih dalam lagi, apabila Anda menggalinya, benarkah pikiran Anda lurus? Benarkah pikiran Anda baik? Apakah ucapan dan tindakan Anda benar? Apakah Anda tidak pernah berbuat kesalahan ? Setelah Anda menggalinya lebih dalam, Anda akan mengetahui bahwa ucapan tersebut tidak sesederhana itu, bukan sebuah perkara yang sederhana.
Apakah pikiran Anda mengandung keserakahan? Kebencian? dan kebodohan? Apakah Anda sedikit pun tidak serakah? Apabila Anda tidak serakah, seharusnya tiada lagi yang Anda inginkan. Apa itu tiada keinginan? Tiada keinginan adalah Suciwan. Apakah Anda adalah Suciwan? Bukan! Apakah Anda punya keinginan? Punya. Jika punya keinginan, mana mungkin tidak melekat pada keserakahan, kebencian, dan kebodohan? Oleh karena itu, “Yang penting hatinya baik.”, memang benar, namun praktikknya tidak mudah, pengamalannya tidaklah mudah.
Oleh karena itu, dalam agama apa pun, entah itu Agama Kristen, Agama Buddha, Agama Islam, Dao, Katolik, semua ada pertobatan.
Dalam Agama Buddha ada banyak metode pertobatan, ada Pertobatan Mahakaruna, sering kali menyelenggarakan Pertobatan Mahakaruna. Ada juga Pertobatan Air, dan Pertobatan Saddharmapundarika. Pertobatan yang paling panjang adalah Pertobatan Kaisar Liang, kita juga melakukan Pertobatan Kaisar Liang, semua mengikuti dengan sangat khusyuk. Berdiri, kemudian berlutut.
Dalam satu Pertobatan Kaisar Liang, sebagian orang tidak tahu bahwa namaskara dilakukan bergantian, banyak yang begitu memasuki sesi melafal Nama Buddha, dia terus ikut bernamaskara. Dia mengatakan, belum sempat berdiri, sudah harus bernamaskara lagi, tiap Nama Buddha dia bernamaskara. Dia mengatakan: “Saya bisa bernamaskara dengan baik!” Namun dia tidak menyadari, ketika terbangun keesokan harinya, kakinya tidak bisa digerakkan, bagaikan cedera olah raga. Oleh karena itu, namaskara perlu dilakukan bergantian, setelah bagian sini selesai bernamaskara, ganti bagian sana.
Pertobatan Kaisar Liang kita kali ini dihadiri oleh 5000 orang, arenanya sangat luas, semua bertobat dengan sangat khusyuk. Namun pertobatan yang paling utama ada pada hati.
Dalam pustaka pertobatan ada tertulis: “Menyatakan pertobatan dari lubuk hati.”, berarti Anda menyatakan segala pelanggaran karma yang telah diperbuat melalui tubuh, ucapan dan pikiran, semua diakui di hadapan Buddha dan Bodhisattva, menyatakan apa saja yang telah Anda langgar, kemudian dengan tulus bertobat dan bernamaskara pada Buddha dan Bodhisattva.
Dalam Agama Buddha ada sangat banyak metode pertobatan, yang paling penting adalah Anda benar-benar menyatakan pertobatan dari lubuk hati, mengukuhkan tekad untuk bertobat, dan yang terpenting, yang paling bermakna adalah Anda tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Agama Buddha membahas sebab dan akibat, dengan adanya sebab buruk, maka Anda akan memetik akibat buruk. Berkat sebab yang baik, Anda akan memetik akibat yang baik, ini adalah hukum sebab dan akibat.
Sebagian besar pertobatan dalam Agama Buddha membahas sebab. Mengapa memperoleh akibat demikian? Apa sebabnya? Oleh karena itu jangan lakukan sebabnya, maka tidak akan ada akibat. Anda mesti menyingkirkan sebabnya, maka tidak akan ada akibatnya.
Seorang pembabar agama di jalanan mengatakan: “Anda tidak boleh membunuh, jika membunuh babi, maka di kehidupan mendatang Anda akan terlahir menjadi babi. Membunuh sapi, terlahir kembali menjadi sapi.” Orang di sebelah mengatakan: “Apakah Anda ingin kami membunuh manusia?” Seharusnya bukan demikian menjelaskannya.
Membunuh itu tidak baik, sebab ketika Anda menanam karma buruk membunuh, Anda membuat insan lain menderita, maka Anda akan memperoleh akibat yang menyengsarakan, seharusnya demikian penjelasannya. Jangan katakan, “Membunuh babi bisa menjadi babi.” , “Membunuh sapi bisa menjadi sapi.”, jadi bagaimana jika membunuh manusia? Ini tidak sesuai dengan logika.
Karma pembunuhan adalah yang paling berat, sebab Anda membuat insan lain menderita, membuat hewan menderita, sehingga Anda mempunyai karma penderitaan yang menyengsarakan diri Anda.
Om Mani Padme Hum.