552 - Lima Jenis Bodhicitta (2)
Kita mengulas lima jenis Bodhicitta.
Sebelumnya kita telah membahas Pranidhana-bodhicitta, semua Buddha dan Bodhisattva membangkitkan ikrar agung, semua merupakan Pranidhana-bodhicitta. Dalam setiap kelahirannya, para Buddha dan Bodhisattva senantiasa berupaya menuntun para insan dunia saha, setiap saat mewujudkan diri sesuai kebutuhan, aktivitas ini terus berlangsung tanpa henti. Pranidhana-bodhicitta semacam ini tak terhingga.
Tekad teragung di dunia adalah memperoleh Kebenaran Sejati alam semesta, dan berupaya menuntun para insan di dunia saha, ini merupakan ikrar yang teragung. Tekad dalam berbagai aktivitas tidak ada yang dapat menandingi ikrar seperti ini. Sebab hanya Pranidhana-bodhicitta yang tertinggi yang bisa mengakhiri tumimbal lahir. Ketika tumimbal lahir telah teratasi, barulah tiada lahir dan tiada mati.
Sekarang banyak orang yang setelah menjalani kebhiksuan, mereka rela untuk menjadi bhiksu dalam tiap kelahirannya, ini merupakan sebuah ikrar yang sangat agung. Banyak siswa yang mengirimkan surat: “Apakah saya punya jodoh menjalani kebhiksuan?” Begitu saya melihatnya, sesungguhnya Anda pernah berikrar untuk menjalani kebhiksuan dalam setiap kelahiran, dan Anda masih bertanya kepada saya, “Ada jodoh menjalani kebhiksuan?” Begitu lahir sudah harus menjalani kebhiksuan. Dalam kehidupan lampau Anda telah berikrar untuk menjadi bhiksu dalam setiap kelahiran. Begitu rambut digunduli, dalam setiap kelahiran mesti digunduli.
Begitu melihat, wah! Orang ini pernah membuat ikrar agung, tentu saja Anda berjodoh. Oleh karena itu semua ini ada nidananya, ada sebab dibalik pilihan Anda untuk menjalani kebhiksuan.
Bodhicitta yang kedua, Carya-bodhicitta, karena Anda telah berikrar, maka Anda mesti melaksanakannya, inilah Carya-bodhicitta. Sebenarnya di masa kecil, ketika membaca syair modern, saya sangat mengangguminya. Saya sendiri juga menulis syair modern, karena saya dapat memasuki konsepsi artistik dari syair modern, di dalam beberapa huruf yang sangat sederhana, terkandung makna yag mendalam. Syair menggunakan kalimat yang paling sederhana untuk mengungkapkan makna yang luas, bahkan juga membuat orang merasakan banyak kesungguhan, kebaikan, dan keindahan. Oleh karena itulah saya sempat ingin menjadi seorang penyair, memiliki sebuah tekad yang demikian.
Kemudian, saya melihat banyak penyair yang menulis syair, namun bahkan saya pun tidak bisa memahami syair tersebut. Ada orang yang mengkritik syair tersebut, Anda pergi ke sebuah percetakan, dahulu di percetakan dipersiapkan banyak cetakan huruf, huruf-huruf tersebut dibalik, ditumpahkan ke lantai, kemudian cetakan tersebut diambil, dan disusun, inilah syair modern, maksudnya adalah, syair modern tidak bisa dipahami oleh orang-orang. Setelah membaca artikel ini, saya terus berpikir, jika saya menulis syair modern, entah apakah orang bisa memahaminya atau tidak. Selain itu, saat itu banyak syair modern yang digunakan untuk berdebat, terjadi polemik pena. Saat itu saya menulis syair dan mengirimkannya ke surat kabar. Apabila karangannya sangat panjang, menjadi sebuah novel, atau sebuah prosa, tulisannya lebih banyak, maka honornya lebih banyak pula. Syair hanya beberapa huruf saja, honornya hanya sekian dolar, 1 atau 2 dolar. Akhirnya saya tahu, menulis syair pasti kelaparan. Oleh karena itu, saya pun tidak melaksanakan tekad tersebut. Beralih menulis buku, menulis prosa, dan menulis syair, saya juga bertekad menjadi seorang penulis.
Kemudian saya menjalankan Carya-bodhicitta, terus tanpa henti. Saya menulis prosa, menulis novel, akhir-akhir ini saya menulis cerita pendek. Setiap hari saya mesti menulis, ini adalah Carya-bodhicitta. Untuk apa saya menulis itu semua? Membabarkan Dharma, selaras dengan Pranidhana-bodhicitta saya.
Setiap hari saya Berdharmadesana, ini juga merupakan Bodhicitta. Menulis juga merupakan Pranidhana-bodhicitta, juga merupakan Carya-bodhicitta. Setiap hari saya menulis satu artikel, menjalankan Bodhicitta saya. Setiap hari Berdharmadesana, ini juga Carya-bodhicitta. Saya juga belajar Buddhisme, dan saya mengaplikasikannya dengan sungguh-sungguh. Tidak ada sehari pun tanpa sadhana, inilah Carya-bodhicitta.
Apabila hendak membandingkan keuletan Mahaguru Lu, saya tidak berani mengatakan “Keuletan saya nomor satu di dunia, tidak ada yang dapat menandinginya, atau saya adalah yang tertinggi, satu-satunya, tiada yang kedua.”, saya tidak berani berkata demikian.
Namun sampai saat ini, orang yang telah menulis buku sampai nomor 125 tidaklah banyak, orang yang sanggup mempertahankan setiap hari seperti ini, juga tidak banyak. Orang seperti saya yang terus mempelajari Buddhadharma, berupaya mencerahi Kebenaran Semesta, dan berupaya merealisasi Tathata, terus terang saya beritahu Anda semua: “Tidak banyak.”
Saya pernah katakan, apabila saya berjalan melewati kuburan para Guru Sesepuh Tantra, maka Beliau semua akan berdiri dan bertepuk tangan untuk saya, kenapa? Apa sebabnya? Sebab Beliau akan mengatakan: “Orang ini punya keuletan.” Saya mengandalkan keuletan ini. Hampir semua Sutra Buddha, asalkan sampai ke tangan saya, saya pasti membacanya sampai habis, bahkan juga memahaminya. Setiap hari saya membaca, tanpa henti, tidak menyia-nyiakan sehari pun.
Ketika merasa letih, saya pun berjalan-jalan sambil menjapa mantra atau melafal Nama Buddha. Ketika kondisi baik, saya berlatih meditasi. Inilah keuletan saya, setiap hari menulis, setiap hari membabarkan Dharma, setiap hari Berdharmadesana, tidak pernah berhenti. Kelak setelah melepaskan kedudukan, saya tetap akan menulis.
Ini merupakan Carya-bodhicitta, meski saya tidak menjadi seorang penyair, namun saya tetap merupakan seorang penulis. Saya menulis untuk membabarkan Pranidhana-bodhicitta, membabarkan Buddhadharma. Semangat dan upaya semacam ini, pasti para Guru Sesepuh pun bertepuk tangan. Anda mesti punya semangat semacam ini, baru disebut sebagai Carya-bodhicitta.
Om Mani Padme Hum.