580 - Kondisi Mahapurna (2)
Kita lanjutkan pengulasan kondisi Mahapurna.
Untuk membahas kondisi Mahapurna ini, kita dapat membaginya menjadi empat, antara lain: darsana, bhavana, carya, dan phala. Sebelumnya, kita telah membahas bahwa Mahapurna bukan mengenai ingin menyaksikan sesuatu, dalam kondisi yang tertinggi, bukan mengenai menyaksikan sesuatu (darsana).
Sekarang hendak membahas: Bukan mengenai bhavana, bukankah kita sedang berbhavana? Bukankah kita sedang bersadhana? Kita melakukan beberapa kali sadhana, menekuni homa, memasuki samadhi, menekuni Sadhana Istadevata, menekuni Caturprayoga, bukankah kita sedang membina diri? Tapi kenapa kondisi Mahapurna dikatakan bukan mengenai bhavana?
Ini memberitahu Anda, ketika telah mencapai kondisi yang tertinggi, Anda telah melalui bhavana, terus berbhavana, sampai akhirnya bagaimana? Tidak lagi berbhavana. Namun, kondisi tidak berbhavana ini merupakan kondisi yang sangat tinggi, di atas segalanya.
Oleh karena itu, Shakyamuni Buddha mengatakan: “Tiada Dharma untuk bhavana.” Sudah tiada lagi Dharma untuk berbhavana.
Demikian pula dengan Bodhidharma, naik ke Dharmasana, dan turun, ini adalah Dharma. Umat meminta Beliau membabarkan Buddhadharma tertinggi, “Babarkanlah Buddhadharma kepada kami!” Ia pun naik dan duduk sejenak, kemudian langsung turun, inilah Dharma tertinggi, inilah kondisi Mahapurna. Kenapa demikian? Bukan mengenai bhavana, dan tiada Dharma.
Coba Anda renungkan, Amitabha Buddha telah berbhavana mencapai Kebuddhaan, Buddha adalah Sambodhi, Beliau telah mencapai Anuttarasamyaksambodhi. Apa yang dilakukan Amitabha Buddha setiap harinya? Setiap hari masih perlu bersadhana? “Tok! Tok! Tok! Tok! Tok!”, apakah setiap hari harus bersadhana di sana?
Ada yang menanyai Amitabha Buddha: “Sekarang Anda telah mencapai keberhasilan menjadi Amitabha Buddha, sadhana apakah yang saat ini Anda tekuni?”
Beliau menjawab: “Saya menjapa ‘Amituofo’ (Amitabhaya Buddhaya).”
"Kenapa Anda menjapa ‘Amituofo’?”
"Daripada minta kepada orang lain, lebih baik meminta pada diri sendiri.” (Mahaguru tertawa)
Apa yang dijapa oleh Avalokitesvara Bodhisattva? Menjapa “Namo Guanshiyin Pusa” (Namo Avalokitesvaraya Bodhisattvaya). Apa yang dijapa oleh Mahastamaprapta Bodhisattva? Menjapa “Namo Dashizhi Pusa.” (Namo Mahastamapraptaya Bodhisattvaya). Kenapa demikian? Menjapa diri sendiri, diri sendiri adalah Buddha, diri sendiri adalah Buddha Anuttarasamyaksambodhi, jadi Mereka tidak perlu bersadhana.
Ada yang bertanya kepada Bhiksu Zhaozhou: “Anda telah tercerahkan dan mencapai Kebuddhaan, kenapa masih memuja Buddha?”
Beliau menjawab: “Untuk memberi teladan bagi para insan.”
Beliau lakukan puja untuk memberi teladan, sebab ketika para insan melihat Beliau memuja Buddha, maka mereka akan ikut memuja Buddha. Anda melihat Amitabha Buddha bersadhana, barulah Anda akan ikut bersadhana. Sesungguhnya Mereka tidak perlu bersadhana, sebab bagi Mereka semua adalah Buddhadharma. Ketika benar-benar mencapai kondisi Mahapurna, segala sesuatu adalah Buddhadharma, abhavana adalah bhavana. (Kondisi tertinggi tiada pembinaan diri, merupakan pembinaan diri yang sejati)
Sembarang satu patah kata, atau hanya menepuk kepala sekali saja, “Plak!” ini adalah Buddhadharma. Aneh, kenapa menepuk kepala sendiri? Karena ada nyamuk yang sedang menggigitnya. Ini juga merupakan Buddhadharma, ini adalah penyeberangan arwah. Ini bukan pembunuhan, melainkan menyeberangkan ke alam yang lebih baik.
Segala gerakan merupakan mudra. Semua yang diucapkan adalah mantra. Tubuh bergoyang, ini adalah pikiran yang murni. Kealaman yang demikian merupakan kondisi Mahapurna, bukan mengenai bhavana.
Anda masih bersadhana? Berarti Anda punya kemelekatan pada Dharma, Anda masih memiliki kemelekatan atas Dharma. Dalam Vajracchedika Sutra tertulis dengan jelas, “Pada akhirnya bahkan Dharma pun mesti dilepaskan, apalagi yang bukan Dharma.”
Pada kondisi yang tertinggi, dalam Buddhadharma yang sejati, semua mesti dibuang, sebab semua ini hanyalah sebuah sarana, hanya sebuah ‘tool’, apalagi yang bukan Dharma? ‘No Illegal’, ilegal (homofon: bukan Dharma (Mahaguru tertawa). Tentu saja, bukan demikian artinya.
Yang bukan Buddhadharma, semua mesti dibuang. Yang merupakan Buddhadharma, juga mesti dibuang. Buang sampai bersih, inilah kondisi Mahapurna. Oleh karena itu, dalam Zen ada: ‘Nivrtti’, ‘berhenti’ berarti tiada suatu apa pun. Saat itu disebut: kondisi Mahasunya, disebut: Samadhi Mahasunya.
Saat itu Anda telah memasuki Samadhi Mahasunya, segalanya selaras dengan angkasa. Tak tergoyahkan, sama sekali tiada baik dan buruk, benar dan salah, tiada oposisi. Saat itu merupakan kondisi Mahapurna.
Shakyamuni Buddha mengatakan: Nirvana, apa itu Nirvana? Inilah yang dimaksud, kondisi Mahapurna adalah Nirvana. Tiada timbul dan lenyapnya afinitas, tiada lahir dan tiada mati. Kondisi yang demikian disebut sebagai kondisi Mahapurna.
Namun adakalanya, maitrikaruna Anda bangkit, ketika maitrikaruna bangkit, ini disebut timbulnya afinitas, dan menjadi Bodhisattva. Saat itu, Anda akan berupaya menyeberangkan semua makhluk.
Dalam kondisi Mahapurna yang sesungguhnya, kondisi abhavana, Anda telah mencapai yang tertinggi, menjadi Buddha, Anuttarasamyaksambodhi. Kenapa Anda masih memuja Buddha? Anda adalah Buddha, tidak perlu lagi memuja Buddha, tidak perlu lagi bervisualisasi, tidak perlu lagi membentuk mudra, tidak perlu lagi menjapa mantra, tidak perlu lagi menggunakan japamala, tidak perlu lagi berikrar, tidak perlu apa pun, ini adalah kondisi Mahapurna.
Kondisi ini terlampau tinggi, akan tetapi, untuk mencapai kondisi tersebut, Anda mesti melalui tahap bhavana. Melalui sebuah jalan bhavana, sampai pada akhirnya, mendadak, Anda tercerahkan. Dalam Tantrayana Anda diajarkan untuk bersadhana, terus membina diri, hingga akhirnya Anda tercerahkan, Anuttarasamyaksambodhi. Saat itu, Anda tidak perlu lagi bersadhana. Saat itu, segala sesuatunya telah bersih.
Selanjutnya adalah: Bukan mengenai carya (pelaksanaan). Kenapa demikian? Sebab segala perbuatan telah bersih. Anda tidak perlu lagi secara khusus melakukan sesuatu, tidak dibuat-buat. Tiada lagi perbuatan yang dibuat-buat.
Jadi ketika Anda menguap, berarti Anda sedang menguap. Oleh karena itu, di antara para Arahat, ada juga Arahat yang menguap, ada juga Arahat yang sedang mengorek telinga. Itulah Buddhadharma, mengorek telinga juga Buddhadharma, menguap juga merupakan Buddhadharma. Segala perilaku, semua menjadi Buddhadharma. Segala perilaku adalah murni, tiada sebuah kebajikan yang secara khusus hendak dilakukan, ini juga merupakan kondisi Mahapurna.
Oleh karena itu, bukan mengenai carya, ini adalah kondisi Mahapurna. Saat itu, apa pun yang dilakukan, semua merupakan kemurnian. Segala perilaku, semua merupakan kemurnian. Segala hal, semua bisa dilakukan. ‘Everything’, ‘everywhere’, semua boleh, semua bisa, inilah kondisi Mahapurna.
Oleh karena itu orang mengatakan: “Ketika Anda benar-benar melebur dalam Mahapurna, maka Anda akan menjadi Tantrika Gila.” Fenomena semacam ini bisa terjadi.
Om Mani Padme Hum.