582 - Sikap Batin Pengabdian kepada Guru (1)
Kita mengulas sikap batin pengabdian kepada Guru, bagaimana bersikap terhadap Guru sendiri, dan bagaimana melakukan beberapa hal.
Pada umumnya, dalam Avatamsaka Sutra, telah dibahas perihal 9 macam sikap batin dalam pengabdian kepada Guru. Di sini kita meringkasnya menjadi 4 macam sikap batin.
Dalam Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan, Guru Sesepuh Tsongkhapa menyebutkan empat jenis sikap batin Abdiguru.
Dalam mengabdi kepada Guru, yang pertama dalah sikap batin anak yang berbakti. Di zaman dahulu ada kisah mengenai anak yang berbakti, sedangkan zaman sekarang justru berbakti kepada anak (Mahaguru tertawa). Bukan anak yang berbakti kepada ayah dan ibu, melainkan orang tua yang berbakti kepada anak. Zaman sekarang dan zaman dahulu saling bertolak belakang.
Di zaman dahulu, dalam hal sikap batin siswa kepada Sang Guru, memang ada siswa yang sangat setia. Segala hal dilakukan dengan sangat jujur, bukan secara lahiriah belaka, di zaman dahulu ada siswa semacam ini.
Di zaman sekarang, lebih sukar untuk mencari siswa semacam ini. Karena orang zaman sekarang cenderung realistis. Maksud dari realistis ini adalah lebih mementingkan kenyataan. Untuk meminta seseorang mengabdi kepada Gurunya sendiri, setia sepenuhnya seumur hidup, dan melakukan segala sesuatu dengan sangat jujur, memang sangat sukar.
Menurut penjelasan dari Mahaguru Tsongkhapa, makna dari sikap batin anak berbakti adalah sepenuhnya melakukan sesuatu sesuai dengan harapan Guru, sepenuhnya memahami hati Sang Guru, melakukan dengan sukacita dan saksama, sepenuhnya sesuai dengan harapan dari Sang Guru, tanpa sedikit pun keinginan untuk menentang. Tidak melanggar dan tidak bertentangan, yang demikian merupakan sikap batin anak berbakti.
Di Tiongkok ada ‘24 Kisah tentang Bakti’, bacalah ‘24 Kisah tentang Bakti’, maka Anda akan tahu bagaimanakah sikap bakti seorang anak yang berbakti, ada beberapa yang benar-benar mustahil untuk dilakukan.
Saya membaca ’24 Kisah tentang Bakti’, salah satu di antaranya demikian, di malam hari, rumahnya banyak nyamuk, di zaman dahulu tidak ada kelambu nyamuk, dan nyamuk akan terbang mengigit orang tua. Anak yang berbakti ini, melepas bajunya, ia mengenyangkan nyamuk di kamar. Ia selalu menggunakan tubuhnya sendiri untuk memberi makan nyamuk-nyamuk itu. Setelah nyamuk-nyamuk kenyang, mereka tidak akan mengisap darah orang tuanya. Setiap hari demikian, di dalam kamar, melepas bajunya, dan membiarkan nyamuk mengigitnya. Setelah nyamuk kenyang, barulah orang tuanya masuk untuk tidur, ada kisah seperti ini.
Tentu saja ini tidak sesuai dengan prinsip kesehatan. (Mahaguru tertawa). Di zaman sekarang tidak bisa dilakukan. Namun melalui kisah ini, Anda dapat menggugah diri sendiri, Anda dapat merenungkannya, sikap batin yang sepenuhnya mengabdi kepada orang tua. Dengan kata lain, tidak ada diskon, ‘One hundred percent’, tidak ada potongan.
Siswa zaman sekarang, ketika Sang Guru hendak melakukan beberapa hal, mesti mempertimbangkan kemampuan siswanya, apakah ia punya kemampuan melakukannya, mesti menimbangnya terlebih dahulu.
Sedangkan di pihak siswa tersebut, ketika melakukan sesuatu, mereka akan mempertimbangkan apakah Sang Guru melihatnya sedang melakukan hal tersebut? (Mahaguru tertawa). Jika Sang Guru tidak melihat, maka bisa asal saja. Saat Guru tiba, semua langsung sangat serius, sengaja diperlihatkan kepada Guru. Saat Guru tidak melihatnya, mereka pun tidak peduli lagi.
Akan tetapi, sikap batin anak berbakti bukan demikian. Sikap batin anak yang berbakti, tidak peduli bagaimanapun, ia akan tetap bertanggung jawab.
Selain itu, sekalipun siswa telah dipersalahkan, ia tidak akan membangkang, yang seperti ini juga sukar. Sebelum Guru jelas akan persoalannya, ia sudah mulai menghujat, yang menghujat adalah Anda. “Jelas-jelas bukan saya, tapi dia mengatakan saya !” Wajahnya langsung berubah menjadi murka Vajra. Atau langsung menyanggah, “Bukan saya ! Dia ! Orang lain !” Selalu demikian, ini bukan sikap batin anak berbakti.
Sikap batin anak berbakti, selamanya hanya ada satu kata, apa pun yang dikatakan oleh Guru, baginya hanya satu kata “Ya.”, yaitu: “Yes”. Tidak pernah mengatakan: “No”, tidak ada “Bukan saya.”, yang berarti: “Guru yang salah.”
Sikap batin anak berbakti tidak demikian, sebab ia adalah ‘one hundred percent’. Asalkan Guru mengatakannya, berarti itu Anda, Anda mesti menanggungnya. Jadi ini sangat sukar, ini benar-benar sangat sukar.
Sebab tiap kali saya bertanya: “Siapa yang melakukan ini?”
Semua menjawab: “Bukan saya!”
Jadi siapa? ‘Ghost’? Berarti ulah hantu! Semua orang mengatakan “Bukan saya!”, berarti tidak ada satu pun yang merupakan anak berbakti. (Mahaguru tertawa)
Sekarang semua justru berbakti kepada anak. Zaman sekarang menjadi seorang Guru hanya bisa berbakti pada siswa. Siswa berbakti sangat langka, kebanyakan adalah Guru yang berbakti kepada siswa.
Sikap batin yang kedua adalah, seperti bumi, bumi yang menanggung segalanya. Bumi yang paling bisa bersabar, dalam ajaran Dao ada sebuah pepatah: “Belajarlah kepada langit dan bumi.”. Belajar kepada sikap langit yang toleran. Belajar kepada kesabaran bumi. Bumi ini tidak pernah melakukan perlawanan, segala sesuatu bisa diletakkan di atas bumi, baik itu wangi, bau, kotor, bahkan yang paling kotor, bumi akan menanggung semuanya.
Inilah sikap batin yang kedua, sikap batin bumi yang sanggup menanggung semua.
Om Mani Padme Hum.