585 - Memandang Guru Laksana Buddha (2)
Kita lanjutkan pembahasan ‘Memandang Guru laksana Buddha’.
Saya pribadi berpendapat, terhadap Guru sendiri, kita mesti memandangnya sama seperti Buddha. Penghormatan kepada Guru timbul dari lubuk hati Anda sendiri, dengan demikian barulah Anda akan menghargai ajaran yang ditransmisikan oleh Guru.
Apabila Anda memandang Guru sebagai Buddha, dan Guru mengadhisthana Anda, maka keyakinan Anda akan menghasilkan daya adhisthana yang besar. Hal ini dapat terpikirkan oleh kita, sebab merupakan suatu yang saling memengaruhi.
Anda menghormati Guru ini, memandangnya sebagai Buddha, maka adhisthana beliau akan menghasilkan daya yang besar. Apabila Anda menekuni ajaran yang beliau transmisikan, maka Anda akan merasakan anubhava yang sangat baik, dan diri Anda juga memperoleh kualitas kebajikan Tri-ratna.
Jika Guru Anda hanyalah seorang guru biasa, dan tidak begitu berkualifikasi. Namun karena Anda memandangnya sebagai Buddha, di mana ketika Anda mengamatinya, Anda merasa bahwa ia adalah Buddha, maka berkat daya keyakinan Anda, maka adhisthananya kepada Anda juga akan berpahala.
Asalkan Anda memandang Guru sebagai Buddha, maka berkat daya keyakinan tersebut, Anda akan memperoleh daya adhisthana yang sangat besar. Demikianlah menurut ajaran Tantra.
Akan tetapi ada juga sebuah persoalan yang muncul, jika Anda telah mengamatinya dalam kurun waktu lama, dan merasa sedikit pun tidak mirip Buddha, maka ini akan merepotkan. Setelah lama mengamati, Anda merasa ia tidak seperti Buddha, setelah bersarana dan menerima abhiseka, Anda berinteraksi dengannya, setelah beberapa saat, mendapati bahwa ia tidak hanya tidak memiliki kualitas Buddha, bahkan kadang seperti seorang pencuri, maka pelatihan diri Anda akan menjadi sebuah persoalan. Semisal ia melakukan penipuan dan tamak akan kemasyhuran, ini ibarat perbuatan seorang pencuri. Menipu umat manusia, dan hanya mencari ketenaran. Ia sangat tamak, ingin meraup banyak uang, bahkan lebih tamak dari orang awam. Perangainya tidak baik, dan penuh kebencian. Hanya sedikit pengetahuan Buddhadharma, dan apa yang dibabarkan juga keliru, saat itu, apa yang harus dilakukan oleh seorang siswa? Bagaimanapun Anda mengamati, sama sekali tidak mirip Buddha.
Saat itu, menurut saya, sebagai seorang siswa mesti tetap menghormati guru sendiri, sebab Anda bisa bersarana kepadanya juga merupakan sebuah jodoh. Kemudian Anda boleh menjauhinya, dan Anda tidak perlu menghujat guru atau Acarya Anda yang sebelumnya. Kemudian carilah jalan keluar yang baik, cari Acarya yang lain, demikian juga boleh.
Menurut saya demikian, karena dalam banyak hal, Anda tidak bisa memaksakan diri sendiri untuk memandangnya sebagai Buddha. Semakin Anda mengamati, semakin tidak mirip, bagaimana ini? Tetap hormati, jangan menghujat. Paling tidak, di antara kalian ada jodoh antara guru dan siswa, jodoh Buddhis seperti ini juga sangat sukar diperoleh. Paling tidak ia juga pernah mengajarkan beberapa hal kepada Anda. “Guru satu aksara”, ia mengajari Anda satu aksara, satu aksara Sansekerta, satu aksara mantra, paling tidak ia telah mengajarkan sebuah mantra kepada Anda, mengajarkan banyak sadhana, maka Anda mesti menghormatinya, jangan menghujatnya.
Akan tetapi, ketika Anda telah mengetahui sisi buruknya, Anda cukup menjauhi dia, demikianlah menurut saya. Anda ingin orang lain memaksakan diri untuk mengamati seorang guru, makin diamati, makin tidak mirip Buddha, tapi diharuskan memandangnya seperti Buddha, ini merupakan suatu hal yang terlalu dipaksakan, hal semacam ini tidak akan bisa dipahami di zaman sekarang.
Ada siswa yang bertanya kepada saya: “Jika Anda berjumpa seorang guru, akan tetapi guru itu tidak baik, dan Anda telah bersarana kepadanya, apa yang mesti dilakukan?”
Menurut saya, tetap hormati dia, jangan menghujatnya, akan tetapi Anda boleh menjauhinya.
Namun, di dunia ini, untuk menemukan seorang Acarya yang sangat sempurna, tanpa sedikit pun kekurangan, maka nasihat saya adalah, tidak perlu mencarinya, sebab tidak akan bisa ditemukan. Sekalipun Shakyamuni Buddha, tetap saja ada beberapa siswa yang terus menghujat di belakang Beliau. Setiap hari menggunjingkan Beliau, membicarakan kesalahan, atau jubah yang dikenakan terlampau indah, arama yang didiami terlalu bagus, atau masakan yang dimakan terlampau berminyak (makanan lezat). Sungguh, demikianlah Devadatta menggunjingkan Shakyamuni Buddha, mengatai bahwa makanan-Nya terlalu berminyak, jubah terlalu indah, kediaman terlalu bagus, setiap hari ada yang mengundang Beliau ke luar, menghadiri perjamuan di luar. Demikianlah setiap hari selalu saja ada yang menggunjingkan Beliau.
Sang Buddha sendiri semestinya adalah seorang Guru yang sangat sempurna. Kita para sadhaka bahkan banyak yang menyesali kenapa tidak dilahirkan di masa yang sama dengan Sang Buddha, untuk menjadi pengikut Shakyamuni Buddha. Akan tetapi, di masa itu, tetap saja ada siswa yang setiap hari menghujat di belakang Beliau. Oleh karena itu, sangat sukar untuk mencari seorang Guru yang sempurna.
Memandang Guru laksana Buddha, berarti memandang kelebihan Guru Anda, mengamati, dan pelajari sisi baik Guru Anda. Jangan melihat kekurangan Guru Anda, sebab semakin Anda mencari-cari kekurangan Guru, maka pasti ia semakin tidak mirip Buddha, dengan demikian, Anda telah kehilangan pahala dari ajaran tersebut, dan Anda juga kehilangan daya adhisthana. Terhadap Guru, Anda mulai kehilangan rasa hormat, dan ini sama sekali tidak bermanfaat bagi Anda sendiri.
Ini semua merupakan sebuah hal yang penting, di sinilah letak keutamaan memandang Guru laksana Buddha, dan ini juga sangat penting. Lihatlah sisi baik Guru Anda, dan belajarlah dari kelebihan-Nya, jangan memandang kekurangannya.
Om Mani Padme Hum.