035 - Makna Penjapaan Mantra
Tantrayana menggunakan penjapaan mantra, visualisasi dan mudra sebagai materi bhavana. Penjapaan mantra disebut juga ‘vidyadhara’, yaitu menjapa terang kebijaksanaan, semakin menjapanya maka semakin terang. Mengapa disebut sebagai mantra? Kita tahu bahwa mantra disebut bahasa guhya, yaitu bahasa yang sangat mistik, suara guhya yang dihasilkan melalui penekunan bhavana yang sangat lama oleh Buddha Bodhisattva, oleh karena itulah disebut sebagai bahasa guhya.
Dalam masa empat puluh sembilan tahun membabarkan Dharma, Sang Buddha sering mengatakan, kontemplasi pada satu sutra atau satu kalimat saja, dapat menghasilkan pahala yang sangat besar.
Oleh karena itu, dalam agama Buddha terdapat sekte Sukhavati yang mengutamakan metode pelafalan Nama Buddha. Ada juga metode penjapaan mantra, yaitu semua metode dalam tantrayana. Selain itu juga ada metode menjapa nama sutra, hanya menjapa nama satu sutra, seperti: “Namo Saddharmapundarikasutra” (Namo Myoho Renge Kyo) yang dijapakan oleh Nichiren Shu. Sekte Sukhavati mengutamakan pelafalan Nama Amitabha Buddha. Tantrayana mengutamakan penjapaan mantra.
Di antara semua tidak perlu saling menuduh yang mana yang baik dan mana yang tidak baik, sebab Sakyamuni Buddha telah mengatakan, satu sutra, bahkan satu kalimat saja semuanya menghasilkan pahala. Sakyamuni Buddha menggunakan upaya-kausalya (metode yang sesuai dengan kapasitas masing-masing insan) dalam menuntun para insan, asalkan Anda melaksanakannya dengan ketulusan dan selaras dengan Buddha Dharma, maka semuanya berpahala.
Menurut pengulasan Guru Tsongkapa dalam Risalah Agung Tahapan Jalan Tantrayana, metode pelafalan Nama Buddha merupakan kontemplasi pada atribut eksternal atau rupa dari Buddha. Saat kita melafal Namo Amitabhaya Buddhaya, inilah nama Amitabha Buddha dari Sukhavati Barat, kita melafal satu nama dari atribut eksternal Buddha.
Oleh karena itu Tsongkapa mengatakan pelafalan Nama Buddha adalah pelafalan pada atribut atau rupa dari Buddha.
Bagaimana dengan penjapaan mantra? Menurut penjelasan Guru Tsongkapa, penjapaan mantra adalah menjapa hati Buddha. Sebab bahasa guhya adalah Mantra Hati, yaitu suara yang dihasilkan dari kedalaman hati, oleh karena itu dikatakan melafalkan hati-Nya. Pelafalan Nama Buddha adalah nama dan rupa Buddha, sedangkan mantra adalah langsung berkontemplasi pada hati Tathagata, demikianlah yang dikatakan oleh Tsongkapa.
Nichiren Shu mengutamakan pelafalan Namo Myoho Renge Kyo, melafal nama sutra, ini juga berpahala. Ia melafal Namo Myoho Renge Kyo berarti melafal Dharma, yaitu Dharma yang ditransmisikan oleh Sakyamuni Buddha. Satu sutra bahkan satu kalimat semuanya berpahala, ini dinyatakan sendiri oleh Sang Buddha.
Setelah Anda melafalkan dengan sangat mendalam, pelafalan Anda akan menghasilkan kekuatan, dan tentu saja dapat menghasilkan Dharmabala. Melafal Nama Buddha dapat menghasilkan kekuatan Buddha, melafalkan Dharma dapat menghasilkan kekuatan Dharma, sedangkan menjapa mantra dapat menghasilkan kekuatan mantra, ini semua berpahala. Oleh karena itu, praktisi mantra tidak boleh menjelek-jelekkan praktisi Nama Buddha, demikian pula praktisi Nama Buddha jangan menjelek-jelekkan praktisi nama sutra, jangan saling menjelekkan, sebab semua metode tersebut mengandung pahala kebajikan.
Dalam tantrayana, penjapaan mantra tergolong sebagai salah satu dari prayoga, kita tahu Catur-prayoga antara lain: mahanamaskara, mahapujana, catursarana dan Vajracitta. Saat hendak menekuni Sadhana Vajracitta Bodhisattva, Anda harus menjapa mantra hingga genap seratus ribu kali.
Mantra apakah yang sebaiknya dijapa? Mantra apapun boleh, berbagai mantra baik adanya. Namun untuk Sadhana Vajracitta, mantranya adalah Sataksara. Ada beberapa mantra yang harus Anda japa, Mantra Sataksara harus dijapa genap seratus ribu kali, Mantra Hati Mulacarya juga harus dijapa genap seratus ribu kali. Mantra yidam yang Anda tekuni juga harus dijapa genap seratus ribu kali, mantra parivar (kerabat dan pengiring) dari yidam juga harus dijapa genap seratus ribu kali.
Misalnya yidam Anda adalah Amitabha Buddha, Avalokitesvara Bodhisattva adalah parivar dari Amitabha Buddha, maka Anda harus menjapa Mantra Hati Avalokitesvara Bodhisattva genap seratus ribu kali, demikian pula Mantra Hati Mahastamaprapta Bodhisattva juga harus dijapa genap seratus ribu kali. Semua adinata yang merupakan parivar Amitabha Buddha harus dijapa genap seratus ribu kali.
Dalam Tantra Tibet sekte Nyingma, Guru Padmasambhava adalah Guru Leluhur Nyingmapa, Anda harus menjapa Mantra Hatinya genap seratus ribu kali, Mantra Hati Tara Hijau yang berkaitan dengan Guru Padmasambhava juga harus dijapa genap seratus ribu kali. Seratus ribu kali merupakan fondasinya, ada juga yang menjapa lima ratus ribu kali, satu juta kali, tentu saja makin banyak makin baik. Menjapa mantra sama dengan melafal Nama Buddha, melafal Nama Buddha adalah melafal atribut eksternal atau rupakaya Buddha, dalam metode pelafalan Nama Buddha juga sama, semakin banyak semakin baik. Demikian pula dengan penjapaan mantra, semakin banyak semakin baik, satu juta kali, sepuluh juta kali, semua terserah Anda, semakin banyak Anda menjapanya maka semakin baik, pada akhirnya akan menghasilkan kekuatan Mantra.
Apa kelebihan dari penjapaan mantra? Mantra dapat langsung memasuki hati Tathagata, sebab mantra merupakan bahasa guhya Tathagata, yaitu suara yang mengalir dari hati Buddha, menjapa mantra berarti menyentuh hati Tathagata, menjapa mantra Buddha dapat mengundang kehadiran Tathagata.
Orang yang melafalkan Nama Buddha mengatakan, melafalkan Nama Buddha berarti berseru kepada Buddha. Menjapa mantra langsung memasuki hati Tathagata. Oleh karena itu, apabila Anda dapat menjapakan mantra dengan baik, maka Anda dapat beryukta dengan para dewata, Vajra Dharmapala, Bodhisattva dan bahkan Buddha. Inilah makna penjapaan mantra. Pengulasan hari ini sampai di sini.
Om Mani Padme Hum.